Jumat, 24 Juli 2009

Sujud

Oleh M Sinwani

Di antara sujud dan rukuk dalam shalat fardhu, akan kita dapatkan jumlah sujud jauh lebih banyak dua kali daripada rukuk. Begitu pula organ-organ tubuh yang menopang terciptanya kesempurnaan sujud, jelas lebih banyak.

Hal ini menegaskan kepada kita sebagai hamba Allah SWT bahwa dengan sujudlah seseorang dapat lebih memahami eksistensi diri yang tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah pula.

Di dalam Alquran, begitu banyak ayat yang menjelaskan bahwa makhluk yang ada di langit maupun di bumi seluruhnya bersujud dan bertasbih kepada Allah SWT. Bahkan, bayang-bayang pun bersujud. Padahal, secara kasat mata ia hanya dapat bergerak mengikuti benda aslinya.


Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman, ''Hanya kepada Allahlah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.'' (QS Arra'd [13]: 15).

Maka dari itu, sujud dalam shalat adalah sujud ibadah (penyembahan), dan merupakan salah satu dari rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Dengannya, Allah SWT mengajarkan kepada manusia satu-satunya bentuk pengagungan yang dikhususkan kepada yang Maha Agung (Al-Adziim), pemuliaan kepada yang Mahamulia (Alkariim), dan pendekatan kepada yang Maha Pencipta (Alkhaliq), serta pengakuan akan segala kelemahan dan keterbatasan yang melekat pada dirinya.

Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya sujud dengan cara memanjangkannya. ''Sesungguhnya waktu yang paling dekat dengan Allah SWT adalah di saat sujud, maka panjangkanlah sujudmu.''

Lalu, apakah sujud terhadap Nabi Adam yang Allah SWT perintahkan kepada para malaikat setelah penciptaannya sebagai khalifah merupakan sujud ibadah (penyembahan)? Tidak. Sujudnya para malaikat dan Iblis terhadap Nabi Adam dikategorikan sebagai sujud penghormatan.

Di samping itu, sujud juga dipahami sebagai salah satu sarana dan waktu yang utama untuk berdoa dan bermunajat. Saat sujud, seseorang dapat mengadu dan meminta hanya kepada Allah SWT semata, tanpa tendensi ingin dipuji oleh orang lain.

Imam Shadiq menegaskan dalam kitab Bihaarul Anwaar akan pentingnya waktu sujud demi terkabulnya doa. Beliau berkata, ''Hendaklah kalian berdoa di akhir-akhir shalat, sesungguhnya itu akan dikabulkan.''


Baca selanjutnya...

Kamis, 23 Juli 2009

Karya Terbaik

Oleh Rusdiono Mukri

''Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.'' (QS al-Mulk [67]: 2).

Di kalangan santri ada mahfudzat (kata-kata bijak), man jadda wa jada. Artinya kurang lebih, barang siapa bersungguh-sungguh meraih keinginannya, maka ia akan memperolehnya.

Kendati kata-kata bijak ini tumbuh subur di kalangan pesantren, namun sesungguhnya falsafah tersebut berlaku bagi siapa saja. Jika kita serius memperjuangkan sesuatu, termasuk serius dalam mencari nafkah, insya Allah kita akan memperoleh apa yang diharapkan itu.

Allah SWT berfirman yang artinya, ''Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian, akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.'' (An Najm [53]: 39-41).



Bekerja dengan sungguh-sungguh tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga diperlukan kerja otak, kesiapan mental, dan strategi untuk mencapai tujuan. Tentu saja dengan menggunakan cara-cara yang dibenarkan oleh agama.

Bekerja dengan menjunjung tinggi integritas dan sportivitas. Bukan mengedepankan sifat culas dan beringas. Sebab, semua yang kita kerjakan akan dinilai dan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT.
Firman Allah yang artinya, ''Dan katakanlah: ''Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.'' (QS at-Taubah [9]: 105).

Karena itu, tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk bekerja asal-asalan. Tak ada alasan bagi kita untuk bermalasan. Sebab, sesungguhnya Allah SWT menguji kita, siapa di antara kita yang terbaik pekerjaannya.
Sebaliknya, setiap Muslim mesti menunjukkan karya terbaiknya dan serius untuk memperoleh apa yang dicita-citakan. Jika kedua hal ini sudah dilakukan, maka hasil terbaik akan diraihnya sebagaimana yang Allah janjikan.

Cendekiawan Muslim, Dr Yusuf al-Qaradhawi, dalam kitabnya Ibaadatu fii Islam (Ibadah dalam Islam) menyebutkan, setiap pekerjaan bisa menjadi wahana shalawat dan ladang jihad di jalan Allah jika memenuhi lima syarat.

Pertama, hendaknya pekerjaan itu ada dalam koridor syariat Islam. Kedua, harus disertai dengan niat yang baik. Niat seorang Muslim dalam bekerja adalah menjaga kehormatan dirinya, mencukupi kebutuhan keluarga, memberi manfaat bagi umat, dan memakmurkan bumi sebagaimana yang diperintahkan Allah.

Ketiga, bekerja dengan tekun dan sebaik-baiknya. Keempat, konsisten dalam berpegang pada ketentuan-ketentuan hukum Allah. Tidak berbuat zalim dan khianat. Kelima, pekerjaan itu tidak boleh melalaikannya dari mengingat Allah.

Baca selanjutnya...

Menjadi Manusiawi

Oleh Endah Nur R

Manusiawi artinya sesuai tabiat kemanusiaannya, tidak seperti hewan, tidak juga seperti tumbuhan. Kemanusiawian itulah yang membuat manusia istimewa, yaitu kemampuannya untuk berpikir.

Muslim berpikir sebelum bertindak, sehingga seharusnya akan ada tujuan pada setiap tindakan. Akan selalu ada pilihan dalam bertindak, memilih untuk melakukan atau tidak, memilih yang lebih baik atau lebih utama. Yang pasti, semua tindakan akan ada pertanggungjawaban di hadap an Allah SWT.

Sungguh, jika tindakan telah dilakukan, tak ada waktu untuk mengulang kembali, yang ada hanyalah penyesalan, jika tindakan itu adalah salah dalam pandangan agama. Seperti orangorang kafir yang menyesali hidupnya.

‘’Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah’.’‘ (QS Annabaa [78]: 40).

Setiap hari kita tidak lepas dari bertindak karena kehidupan manusia memang senantiasa berurusan dengan pemenuhan potensi hidup. Entah itu kebutuhan jasmani maupun naluri; mengagungkan Sang Khaliq, berkasih sayang, maupun menunjukkan diri.

Allah SWT sebagai Sang Pencipta tentu lebih mengerti tentang tabiat manusia. Agar manusia tetap sesuai dengan kemanusiawiannya, maka Allah SWT telah menggariskan ketentuan tentang tindakan-tindakan manusia itu.

Ketentuan-ketentuan Allah SWT tidaklah mengekang apalagi menghilangkan, tidak pula membebaskan sebebas-bebasnya, tapi mengarahkan secara tepat, sehingga manusia sesuai dengan fitrah kemanusiaannya. Ketentuan itu terdapat dalam akidah dan ibadah, akhlak, pakaian, urusan makan dan minum, kegiatan bermasyarakat, serta pemerintahan dan hukum.

Sudahkah semua tindakan kita sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari Allah SWT tersebut? Sudahkah kita menjadi manusiawi?

‘’Dan tidaklah patut bagi lakilaki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan me reka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.’‘ (QS Al-Ahzab [33]: 36).


Baca selanjutnya...

Rabu, 22 Juli 2009

Saling Menasihati dalam Kebaikan

Oleh: Darul Qotni Abbas

Fenomena saling menyalahkan, merasa yang paling benar, serta senang melihat kesengsaraan yang dihadapi oleh sesamanya merupakan penyakit yang harus segera dihilangkan. Manusia merupakan makhluk sosial yang terikat dan bersaudara antara satu dan yang lainnya. Maka, berbuat kebaikan kepada siapa pun menjadi mutlak dilakukan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia yang humanis.

''Demi masa. Sesungguhya, manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.'' (QS Al-Ashr [103]: 1-3).

Seseorang akan merasa beruntung bila ia menggunakan waktunya untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Memang, alangkah indahnya bila kehidupan kita sudah disemarakkan dengan semangat saling menasihati. Betapa tidak? Setiap orang butuh keselamatan. Selamat dari kerusakan, kebodohan, kecelakaan, kekurangan, kelalaian, dan kesalahan. Bentuk cinta dan kasih seseorang terhadap yang lainnya adalah dengan menasihati supaya tidak terjun dalam kubangan kesalahan dan dosa.


Seorang Muslim tidak akan rela melihat saudara se-Muslim lain berbuat kesalahan yang dapat menjauhkan dirinya dari pertolongan syariat.

Makna dari nasihat adalah 'menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran', yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan perbuatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan mengajaknya untuk tidak melakukan perbuatan yang malah dapat menjauhkan diri dari-Nya.

Merupakan tugas setiap Muslim baik perempuan maupun laki-laki untuk saling menasihati seperti dalam firman-Nya, ''Dan, hendaklah ada dari antara kamu segolongan umat yang berseru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan, merekalah orang-orang yang beruntung.'' (QS Ali Imran [3]: 104).

Namun demikian, terkadang banyak yang mau menasihati orang lain, memberikan koreksi, bahkan mengkritik. Tapi, sayangnya, ketika ia sendiri yang dikoreksi dan dinasihati, terkadang sulit sekali untuk berlapang dada menerimanya.

Nasihat yang baik yang boleh kita sampaikan adalah nasihat yang benar, mengandung muatan positif, dan tentunya penuh makna serta manfaat bagi semua orang, yaitu mengajak pada kebajikan dan menjauhi kemungkaran yang berdasarkan Alquran dan sunah.

Dan, bukanlah sebaliknya, menganjurkan kemungkaran dan melarang untuk mengerjakan kebajikan. Apa pun yang kita sampaikan jika itu benar, alangkah baiknya bila cara menyampaikannya pun benar.

Dengan nasihat, kita harus membantu yang lupa agar menjadi ingat, membantu yang lalai agar menjadi semangat, yang tergelincir menjadi bangkit kembali, yang berlumur dosa menjadi bertobat. Intinya, kalau dilandasi niat yang baik, tentu akan melahirkan kebaikan pula.


Baca selanjutnya...

Jumat, 17 Juli 2009

Isra dan Mikraj

Oleh Sjaiful Hamdi Naumin

''Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'' (QS Al-Isra' [17]: 1).

Ayat ini merupakan rujukan utama perjalanan Isra dan Mikrajnya Nabi Muhammad SAW. Sebagai bukti perjalanan menembus dimensi waktu dan tempat, dalam rangka mengambil langsung perintah shalat dari Allah SWT, tanpa melalui malaikat.Kalau Rasulullah SAW melakukan mikraj untuk mengambil perintah shalat, kini, bagi setiap Muslim, justru shalatlah sebagai sarana mikraj ke haribaan-Nya.

Ayat ini pulalah yang menjadikan Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis di Yerusalem) sebagai sarana ibadah suci umat Islam. Ayat ini juga mengajarkan umat Islam untuk berbudaya safar-musafir, berjalan, merantau, dan merasakan bahwa bumi Allah SWT itu amat luas.

Dari ayat ini pula kita mendapat sembilan pedoman, sebelum mengadakan suatu perjalanan. Pertama, subhanallah , Mahasuci Allah. Kalau kita akan melakukan perjalanan, sucikan dulu hati dan niat. Jangan terlalu sarat dengan muatan kekinian.Kedua, asra , mulailah perjalanan itu. Jangan ragu dan bimbang. Tetapkan hati. Ketiga, bi'abdihi , hamba-Nya. Mulailah perjalanan dengan merasakan diri kita sepenuhnya sebagai hamba Allah SWT, jangan sombong. Perjalanan itu jadikan pula sebagai sarana penghambaan, pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT.

Keempat, laila , tengah malam (yang gelap). Mulailah perjalanan itu dari gelap (tidak tahu) kepada terang (memiliki ilmu). Selalu ada kemajuan. Kelima, minal Masjidil Haram ilal Masjidil Aqsha , dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.Masjid, bisa dalam pengertian tempat shalat, tapi bisa juga dalam pengertian tempat sujud. Maksudnya, awali perjalanan dengan merendahkan diri (bersujud) dan akhiri pula dengan merendahkan diri di hadapan Allah SWT.

Keenam, alladzi barakna haulahu , yang Kami telah berkahi sekelilingnya. Maksudnya, berjalanlah di sekeliling berkah Allah SWT, yang Allah SWT ridha dan manfaatnya dilipatgandakan-Nya ( ziyadtul khair ). Ketujuh, linuriyahu min ayatina , agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat Kami. Maksudnya, dari setiap perjalanan kita, lihat dan carilah ayat-ayat dan bukti-bukti kekuasaan Allah SWT.

Kedelapan dan kesembilan, innahu huassami'ul bashir , Sungguh, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Yakinkan diri, di setiap perjalanan dan tindakanmu, Allah SWT pasti mengetahuinya. Tak satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.


Baca selanjutnya...

Kamis, 16 Juli 2009

Giat Saat Fakir

Oleh W Aziz W Brilianto

Kefakiran harta sering diidentikkan dengan kehinaan. Karakter rendah diri, merasa tak berdaya, hingga menghinakan diri sendiri, sering menjangkiti mereka yang dilanda kefakiran. Akumulasi karakter itu akan mengempaskan pada jurang keputusasaan. Kegairahan untuk bangkit dan berjuang pun hilang. Langkah nyata menghindarkan diri dari keterpurukan pun tak akan kembali muncul.

Kegairahan hidup harus terpelihara, walau di tengah kefakiran. Kefakiran mesti menjadi daya pengungkit bagi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Perasaan hina karena kefakiran harus ditumbangkan, karena sangat tidak beralasan.Islam pun tidak mengenal perspektif demikian. Karena kehinaan bukan milik si fakir, tapi mereka yang tidak beriman dan tak menaati Allah SWT.

''Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.'' (QS Attaubah [9]: 63).Untuk menjaga kegairahan hidup, Islam memandang bahwa mereka yang fakir sebagai makhluk yang dicintai Allah SWT. Kefakiran bukanlah azab yang dilaknat, tapi ujian yang dapat mendatangkan kebaikan.

Seperti sabda Rasulullah SAW, ''Sesungguhnya makhluk yang paling dicintai oleh Allah adalah orang-orang yang fakir, karena makhluk yang paling dicintai Allah adalah para Nabi, maka Allah menguji mereka dengan kefakiran.''Rasulullah SAW pun bermunajat agar dimatikan bersama orang fakir. Seperti yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, ''Ya Allah, matikanlah aku sebagai orang yang fakir dan jangan matikan aku sebagai orang kaya. Kumpulkanlah aku nanti pada hari kiamat dalam rombongan orang-orang miskin.''

Sabda Rasulullah SAW itu bukan meninabobokan agar nyaman bersama kefakiran. Lalu, lari dari hidup yang berkecukupan. Namun, untuk mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri, di tengah penghinaan dan pengucilan manusia yang menilai kemuliaan dari keberlimpahan harta.

Janji Allah SWT dan Rasulullah SAW yang selalu bersamanya, mencintainya, dan membelanya, hendaknya menjadi pemulih optimisme dalam mengarungi kefakiran.Ini juga menjadi modal untuk menggiatkan kemauan berusaha, bekerja lebih keras, juga kreatif. Seperti giatnya sahabat yang fakir di masa Rasulullah SAW saat berkompetisi dengan sahabat yang berharta dalam mengisi kehidupan, dengan karya-karya sesuai kemampuan mereka.

Tetap produktif, berkontribusi, dan tak membebani orang lain telah menjadi karakter mereka. Kefakiran bukanlah penghambat, tapi penyemangat untuk berebut kebaikan dan pahala di tengah keterbatasan. Karena di tengah keterbatasanlah, segalanya lebih dilipatgandakan oleh Allah Yang Mahakaya.


Baca selanjutnya...

Rabu, 15 Juli 2009

Kasih Sayang untuk Buah Hati

Oleh Khilma Damayanti

Rasulullah SAW bersabda, ''Muliakan anak-anakmu, dan didiklah mereka dengan akhlak yang baik.'' (HR Ibnu Majah).Anak adalah buah hati kedua orang tua. Tanpa hadirnya anak, mungkin suatu pernikahan belumlah terasa lengkap.

Kehadiran anak merupakan kehendak Allah SWT. Bila Allah SWT menghendaki sepasang suami istri memiliki anak, itu anugerah yang tiada terkira. Karena itu, anak adalah titipan-Nya yang patut disyukuri.Titipan Allah SWT itu sudah sepatutnya dijaga, dibesarkan, dan dididik dengan baik oleh kedua orang tua, dengan ilmu, agama, perhatian, dan kasih sayang. Semua faktor itu sangat penting bagi perkembangan anak.

Jika ilmu dan agama sangat bermanfaat bagi kehidupan di dunia dan akhirat, kasih sayang orang tua adalah kebutuhan anak-anak sejak mereka lahir. Bila sejak kecil mereka telah kehilangan kasih sayang orang tuanya, akan dapat memengaruhi pertumbuhan, terutama perkembangan emosionalnya.

Misalnya, anak-anak menjadi pribadi yang keras, kasar, dan mudah marah. Tidak jarang anak-anak yang dibesarkan tanpa kasih sayang, mereka suka berbohong, mencuri, dan menyakiti orang lain. Namun, bila orang tua membesarkan dengan kasih sayang, insya Allah mereka akan tumbuh menjadi anak yang dapat menyayangi sesama serta makhluk Allah SWT lainnya.

Umat Islam memiliki teladan, yakni Rasulullah SAW dan para sahabat dalam mendidik anak dengan kasih sayang. Anas bin Malik mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah SAW kepada putranya, ''Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah SAW.''
Meskipun anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, tapi Nabi Muhammad SAW tidaklah marah, memukul, membentak, dan menghardik mereka.

Beliau tetap berlaku lemah lembut dan tetap bersikap tenang menghadapi mereka.
Masa depan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya yang mendidik dan membesarkan. Sedapat mungkin orang tua tak hanya memberikan pendidikan di rumah, namun juga pendidikan formal yang tinggi. Dan selama mendidik itulah kasih sayang sangat penting peranannya dalam membesarkan anak.

Kasih sayang memang hal utama yang harus dimiliki setiap orang. Anak-anak pun sangat membutuhkan kasih sayang, baik dari orang tuanya maupun orang lain. Sikap-sikap Nabi Muhammad SAW patut ditiru oleh para orang tua dalam membesarkan anak-anaknya.Perilaku anak sangat tergantung dari contoh dan teladan orang tuanya. Karena itu, hanya akhlak dan budi pekerti luhurlah yang akan menjadikan masa depan anak sesuai dengan yang kita dambakan.


Baca selanjutnya...