Jumat, 24 Juli 2009

Sujud

Oleh M Sinwani

Di antara sujud dan rukuk dalam shalat fardhu, akan kita dapatkan jumlah sujud jauh lebih banyak dua kali daripada rukuk. Begitu pula organ-organ tubuh yang menopang terciptanya kesempurnaan sujud, jelas lebih banyak.

Hal ini menegaskan kepada kita sebagai hamba Allah SWT bahwa dengan sujudlah seseorang dapat lebih memahami eksistensi diri yang tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah pula.

Di dalam Alquran, begitu banyak ayat yang menjelaskan bahwa makhluk yang ada di langit maupun di bumi seluruhnya bersujud dan bertasbih kepada Allah SWT. Bahkan, bayang-bayang pun bersujud. Padahal, secara kasat mata ia hanya dapat bergerak mengikuti benda aslinya.


Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman, ''Hanya kepada Allahlah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.'' (QS Arra'd [13]: 15).

Maka dari itu, sujud dalam shalat adalah sujud ibadah (penyembahan), dan merupakan salah satu dari rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Dengannya, Allah SWT mengajarkan kepada manusia satu-satunya bentuk pengagungan yang dikhususkan kepada yang Maha Agung (Al-Adziim), pemuliaan kepada yang Mahamulia (Alkariim), dan pendekatan kepada yang Maha Pencipta (Alkhaliq), serta pengakuan akan segala kelemahan dan keterbatasan yang melekat pada dirinya.

Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya sujud dengan cara memanjangkannya. ''Sesungguhnya waktu yang paling dekat dengan Allah SWT adalah di saat sujud, maka panjangkanlah sujudmu.''

Lalu, apakah sujud terhadap Nabi Adam yang Allah SWT perintahkan kepada para malaikat setelah penciptaannya sebagai khalifah merupakan sujud ibadah (penyembahan)? Tidak. Sujudnya para malaikat dan Iblis terhadap Nabi Adam dikategorikan sebagai sujud penghormatan.

Di samping itu, sujud juga dipahami sebagai salah satu sarana dan waktu yang utama untuk berdoa dan bermunajat. Saat sujud, seseorang dapat mengadu dan meminta hanya kepada Allah SWT semata, tanpa tendensi ingin dipuji oleh orang lain.

Imam Shadiq menegaskan dalam kitab Bihaarul Anwaar akan pentingnya waktu sujud demi terkabulnya doa. Beliau berkata, ''Hendaklah kalian berdoa di akhir-akhir shalat, sesungguhnya itu akan dikabulkan.''


Baca selanjutnya...

Kamis, 23 Juli 2009

Karya Terbaik

Oleh Rusdiono Mukri

''Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.'' (QS al-Mulk [67]: 2).

Di kalangan santri ada mahfudzat (kata-kata bijak), man jadda wa jada. Artinya kurang lebih, barang siapa bersungguh-sungguh meraih keinginannya, maka ia akan memperolehnya.

Kendati kata-kata bijak ini tumbuh subur di kalangan pesantren, namun sesungguhnya falsafah tersebut berlaku bagi siapa saja. Jika kita serius memperjuangkan sesuatu, termasuk serius dalam mencari nafkah, insya Allah kita akan memperoleh apa yang diharapkan itu.

Allah SWT berfirman yang artinya, ''Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian, akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.'' (An Najm [53]: 39-41).



Bekerja dengan sungguh-sungguh tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga diperlukan kerja otak, kesiapan mental, dan strategi untuk mencapai tujuan. Tentu saja dengan menggunakan cara-cara yang dibenarkan oleh agama.

Bekerja dengan menjunjung tinggi integritas dan sportivitas. Bukan mengedepankan sifat culas dan beringas. Sebab, semua yang kita kerjakan akan dinilai dan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT.
Firman Allah yang artinya, ''Dan katakanlah: ''Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.'' (QS at-Taubah [9]: 105).

Karena itu, tidak ada alasan bagi setiap Muslim untuk bekerja asal-asalan. Tak ada alasan bagi kita untuk bermalasan. Sebab, sesungguhnya Allah SWT menguji kita, siapa di antara kita yang terbaik pekerjaannya.
Sebaliknya, setiap Muslim mesti menunjukkan karya terbaiknya dan serius untuk memperoleh apa yang dicita-citakan. Jika kedua hal ini sudah dilakukan, maka hasil terbaik akan diraihnya sebagaimana yang Allah janjikan.

Cendekiawan Muslim, Dr Yusuf al-Qaradhawi, dalam kitabnya Ibaadatu fii Islam (Ibadah dalam Islam) menyebutkan, setiap pekerjaan bisa menjadi wahana shalawat dan ladang jihad di jalan Allah jika memenuhi lima syarat.

Pertama, hendaknya pekerjaan itu ada dalam koridor syariat Islam. Kedua, harus disertai dengan niat yang baik. Niat seorang Muslim dalam bekerja adalah menjaga kehormatan dirinya, mencukupi kebutuhan keluarga, memberi manfaat bagi umat, dan memakmurkan bumi sebagaimana yang diperintahkan Allah.

Ketiga, bekerja dengan tekun dan sebaik-baiknya. Keempat, konsisten dalam berpegang pada ketentuan-ketentuan hukum Allah. Tidak berbuat zalim dan khianat. Kelima, pekerjaan itu tidak boleh melalaikannya dari mengingat Allah.

Baca selanjutnya...

Menjadi Manusiawi

Oleh Endah Nur R

Manusiawi artinya sesuai tabiat kemanusiaannya, tidak seperti hewan, tidak juga seperti tumbuhan. Kemanusiawian itulah yang membuat manusia istimewa, yaitu kemampuannya untuk berpikir.

Muslim berpikir sebelum bertindak, sehingga seharusnya akan ada tujuan pada setiap tindakan. Akan selalu ada pilihan dalam bertindak, memilih untuk melakukan atau tidak, memilih yang lebih baik atau lebih utama. Yang pasti, semua tindakan akan ada pertanggungjawaban di hadap an Allah SWT.

Sungguh, jika tindakan telah dilakukan, tak ada waktu untuk mengulang kembali, yang ada hanyalah penyesalan, jika tindakan itu adalah salah dalam pandangan agama. Seperti orangorang kafir yang menyesali hidupnya.

‘’Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah’.’‘ (QS Annabaa [78]: 40).

Setiap hari kita tidak lepas dari bertindak karena kehidupan manusia memang senantiasa berurusan dengan pemenuhan potensi hidup. Entah itu kebutuhan jasmani maupun naluri; mengagungkan Sang Khaliq, berkasih sayang, maupun menunjukkan diri.

Allah SWT sebagai Sang Pencipta tentu lebih mengerti tentang tabiat manusia. Agar manusia tetap sesuai dengan kemanusiawiannya, maka Allah SWT telah menggariskan ketentuan tentang tindakan-tindakan manusia itu.

Ketentuan-ketentuan Allah SWT tidaklah mengekang apalagi menghilangkan, tidak pula membebaskan sebebas-bebasnya, tapi mengarahkan secara tepat, sehingga manusia sesuai dengan fitrah kemanusiaannya. Ketentuan itu terdapat dalam akidah dan ibadah, akhlak, pakaian, urusan makan dan minum, kegiatan bermasyarakat, serta pemerintahan dan hukum.

Sudahkah semua tindakan kita sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari Allah SWT tersebut? Sudahkah kita menjadi manusiawi?

‘’Dan tidaklah patut bagi lakilaki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan me reka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.’‘ (QS Al-Ahzab [33]: 36).


Baca selanjutnya...

Rabu, 22 Juli 2009

Saling Menasihati dalam Kebaikan

Oleh: Darul Qotni Abbas

Fenomena saling menyalahkan, merasa yang paling benar, serta senang melihat kesengsaraan yang dihadapi oleh sesamanya merupakan penyakit yang harus segera dihilangkan. Manusia merupakan makhluk sosial yang terikat dan bersaudara antara satu dan yang lainnya. Maka, berbuat kebaikan kepada siapa pun menjadi mutlak dilakukan untuk menciptakan hubungan antara sesama manusia yang humanis.

''Demi masa. Sesungguhya, manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.'' (QS Al-Ashr [103]: 1-3).

Seseorang akan merasa beruntung bila ia menggunakan waktunya untuk saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Memang, alangkah indahnya bila kehidupan kita sudah disemarakkan dengan semangat saling menasihati. Betapa tidak? Setiap orang butuh keselamatan. Selamat dari kerusakan, kebodohan, kecelakaan, kekurangan, kelalaian, dan kesalahan. Bentuk cinta dan kasih seseorang terhadap yang lainnya adalah dengan menasihati supaya tidak terjun dalam kubangan kesalahan dan dosa.


Seorang Muslim tidak akan rela melihat saudara se-Muslim lain berbuat kesalahan yang dapat menjauhkan dirinya dari pertolongan syariat.

Makna dari nasihat adalah 'menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran', yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan perbuatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan mengajaknya untuk tidak melakukan perbuatan yang malah dapat menjauhkan diri dari-Nya.

Merupakan tugas setiap Muslim baik perempuan maupun laki-laki untuk saling menasihati seperti dalam firman-Nya, ''Dan, hendaklah ada dari antara kamu segolongan umat yang berseru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan, merekalah orang-orang yang beruntung.'' (QS Ali Imran [3]: 104).

Namun demikian, terkadang banyak yang mau menasihati orang lain, memberikan koreksi, bahkan mengkritik. Tapi, sayangnya, ketika ia sendiri yang dikoreksi dan dinasihati, terkadang sulit sekali untuk berlapang dada menerimanya.

Nasihat yang baik yang boleh kita sampaikan adalah nasihat yang benar, mengandung muatan positif, dan tentunya penuh makna serta manfaat bagi semua orang, yaitu mengajak pada kebajikan dan menjauhi kemungkaran yang berdasarkan Alquran dan sunah.

Dan, bukanlah sebaliknya, menganjurkan kemungkaran dan melarang untuk mengerjakan kebajikan. Apa pun yang kita sampaikan jika itu benar, alangkah baiknya bila cara menyampaikannya pun benar.

Dengan nasihat, kita harus membantu yang lupa agar menjadi ingat, membantu yang lalai agar menjadi semangat, yang tergelincir menjadi bangkit kembali, yang berlumur dosa menjadi bertobat. Intinya, kalau dilandasi niat yang baik, tentu akan melahirkan kebaikan pula.


Baca selanjutnya...

Jumat, 17 Juli 2009

Isra dan Mikraj

Oleh Sjaiful Hamdi Naumin

''Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.'' (QS Al-Isra' [17]: 1).

Ayat ini merupakan rujukan utama perjalanan Isra dan Mikrajnya Nabi Muhammad SAW. Sebagai bukti perjalanan menembus dimensi waktu dan tempat, dalam rangka mengambil langsung perintah shalat dari Allah SWT, tanpa melalui malaikat.Kalau Rasulullah SAW melakukan mikraj untuk mengambil perintah shalat, kini, bagi setiap Muslim, justru shalatlah sebagai sarana mikraj ke haribaan-Nya.

Ayat ini pulalah yang menjadikan Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis di Yerusalem) sebagai sarana ibadah suci umat Islam. Ayat ini juga mengajarkan umat Islam untuk berbudaya safar-musafir, berjalan, merantau, dan merasakan bahwa bumi Allah SWT itu amat luas.

Dari ayat ini pula kita mendapat sembilan pedoman, sebelum mengadakan suatu perjalanan. Pertama, subhanallah , Mahasuci Allah. Kalau kita akan melakukan perjalanan, sucikan dulu hati dan niat. Jangan terlalu sarat dengan muatan kekinian.Kedua, asra , mulailah perjalanan itu. Jangan ragu dan bimbang. Tetapkan hati. Ketiga, bi'abdihi , hamba-Nya. Mulailah perjalanan dengan merasakan diri kita sepenuhnya sebagai hamba Allah SWT, jangan sombong. Perjalanan itu jadikan pula sebagai sarana penghambaan, pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT.

Keempat, laila , tengah malam (yang gelap). Mulailah perjalanan itu dari gelap (tidak tahu) kepada terang (memiliki ilmu). Selalu ada kemajuan. Kelima, minal Masjidil Haram ilal Masjidil Aqsha , dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.Masjid, bisa dalam pengertian tempat shalat, tapi bisa juga dalam pengertian tempat sujud. Maksudnya, awali perjalanan dengan merendahkan diri (bersujud) dan akhiri pula dengan merendahkan diri di hadapan Allah SWT.

Keenam, alladzi barakna haulahu , yang Kami telah berkahi sekelilingnya. Maksudnya, berjalanlah di sekeliling berkah Allah SWT, yang Allah SWT ridha dan manfaatnya dilipatgandakan-Nya ( ziyadtul khair ). Ketujuh, linuriyahu min ayatina , agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat Kami. Maksudnya, dari setiap perjalanan kita, lihat dan carilah ayat-ayat dan bukti-bukti kekuasaan Allah SWT.

Kedelapan dan kesembilan, innahu huassami'ul bashir , Sungguh, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Yakinkan diri, di setiap perjalanan dan tindakanmu, Allah SWT pasti mengetahuinya. Tak satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.


Baca selanjutnya...

Kamis, 16 Juli 2009

Giat Saat Fakir

Oleh W Aziz W Brilianto

Kefakiran harta sering diidentikkan dengan kehinaan. Karakter rendah diri, merasa tak berdaya, hingga menghinakan diri sendiri, sering menjangkiti mereka yang dilanda kefakiran. Akumulasi karakter itu akan mengempaskan pada jurang keputusasaan. Kegairahan untuk bangkit dan berjuang pun hilang. Langkah nyata menghindarkan diri dari keterpurukan pun tak akan kembali muncul.

Kegairahan hidup harus terpelihara, walau di tengah kefakiran. Kefakiran mesti menjadi daya pengungkit bagi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Perasaan hina karena kefakiran harus ditumbangkan, karena sangat tidak beralasan.Islam pun tidak mengenal perspektif demikian. Karena kehinaan bukan milik si fakir, tapi mereka yang tidak beriman dan tak menaati Allah SWT.

''Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.'' (QS Attaubah [9]: 63).Untuk menjaga kegairahan hidup, Islam memandang bahwa mereka yang fakir sebagai makhluk yang dicintai Allah SWT. Kefakiran bukanlah azab yang dilaknat, tapi ujian yang dapat mendatangkan kebaikan.

Seperti sabda Rasulullah SAW, ''Sesungguhnya makhluk yang paling dicintai oleh Allah adalah orang-orang yang fakir, karena makhluk yang paling dicintai Allah adalah para Nabi, maka Allah menguji mereka dengan kefakiran.''Rasulullah SAW pun bermunajat agar dimatikan bersama orang fakir. Seperti yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, ''Ya Allah, matikanlah aku sebagai orang yang fakir dan jangan matikan aku sebagai orang kaya. Kumpulkanlah aku nanti pada hari kiamat dalam rombongan orang-orang miskin.''

Sabda Rasulullah SAW itu bukan meninabobokan agar nyaman bersama kefakiran. Lalu, lari dari hidup yang berkecukupan. Namun, untuk mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri, di tengah penghinaan dan pengucilan manusia yang menilai kemuliaan dari keberlimpahan harta.

Janji Allah SWT dan Rasulullah SAW yang selalu bersamanya, mencintainya, dan membelanya, hendaknya menjadi pemulih optimisme dalam mengarungi kefakiran.Ini juga menjadi modal untuk menggiatkan kemauan berusaha, bekerja lebih keras, juga kreatif. Seperti giatnya sahabat yang fakir di masa Rasulullah SAW saat berkompetisi dengan sahabat yang berharta dalam mengisi kehidupan, dengan karya-karya sesuai kemampuan mereka.

Tetap produktif, berkontribusi, dan tak membebani orang lain telah menjadi karakter mereka. Kefakiran bukanlah penghambat, tapi penyemangat untuk berebut kebaikan dan pahala di tengah keterbatasan. Karena di tengah keterbatasanlah, segalanya lebih dilipatgandakan oleh Allah Yang Mahakaya.


Baca selanjutnya...

Rabu, 15 Juli 2009

Kasih Sayang untuk Buah Hati

Oleh Khilma Damayanti

Rasulullah SAW bersabda, ''Muliakan anak-anakmu, dan didiklah mereka dengan akhlak yang baik.'' (HR Ibnu Majah).Anak adalah buah hati kedua orang tua. Tanpa hadirnya anak, mungkin suatu pernikahan belumlah terasa lengkap.

Kehadiran anak merupakan kehendak Allah SWT. Bila Allah SWT menghendaki sepasang suami istri memiliki anak, itu anugerah yang tiada terkira. Karena itu, anak adalah titipan-Nya yang patut disyukuri.Titipan Allah SWT itu sudah sepatutnya dijaga, dibesarkan, dan dididik dengan baik oleh kedua orang tua, dengan ilmu, agama, perhatian, dan kasih sayang. Semua faktor itu sangat penting bagi perkembangan anak.

Jika ilmu dan agama sangat bermanfaat bagi kehidupan di dunia dan akhirat, kasih sayang orang tua adalah kebutuhan anak-anak sejak mereka lahir. Bila sejak kecil mereka telah kehilangan kasih sayang orang tuanya, akan dapat memengaruhi pertumbuhan, terutama perkembangan emosionalnya.

Misalnya, anak-anak menjadi pribadi yang keras, kasar, dan mudah marah. Tidak jarang anak-anak yang dibesarkan tanpa kasih sayang, mereka suka berbohong, mencuri, dan menyakiti orang lain. Namun, bila orang tua membesarkan dengan kasih sayang, insya Allah mereka akan tumbuh menjadi anak yang dapat menyayangi sesama serta makhluk Allah SWT lainnya.

Umat Islam memiliki teladan, yakni Rasulullah SAW dan para sahabat dalam mendidik anak dengan kasih sayang. Anas bin Malik mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah SAW kepada putranya, ''Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah SAW.''
Meskipun anak-anak biasa merengek dan mengeluh serta banyak tingkah, tapi Nabi Muhammad SAW tidaklah marah, memukul, membentak, dan menghardik mereka.

Beliau tetap berlaku lemah lembut dan tetap bersikap tenang menghadapi mereka.
Masa depan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya yang mendidik dan membesarkan. Sedapat mungkin orang tua tak hanya memberikan pendidikan di rumah, namun juga pendidikan formal yang tinggi. Dan selama mendidik itulah kasih sayang sangat penting peranannya dalam membesarkan anak.

Kasih sayang memang hal utama yang harus dimiliki setiap orang. Anak-anak pun sangat membutuhkan kasih sayang, baik dari orang tuanya maupun orang lain. Sikap-sikap Nabi Muhammad SAW patut ditiru oleh para orang tua dalam membesarkan anak-anaknya.Perilaku anak sangat tergantung dari contoh dan teladan orang tuanya. Karena itu, hanya akhlak dan budi pekerti luhurlah yang akan menjadikan masa depan anak sesuai dengan yang kita dambakan.


Baca selanjutnya...

Selasa, 14 Juli 2009

Dua Syarat Hidup Tenang

Oleh Yodi Indrayadi

''Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami adalah Allah', kemudian meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, 'Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih'.'' (QS Fushshilat [41]: 30).

Mungkinkah kita bisa benar-benar hidup tenang, sedangkan impitan ekonomi dan beban hidup terasa begitu berat? Jawabannya, ''Ya.'' Kita bisa hidup tenang, tanpa perlu merasa takut dan sedih, hanya dengan menjalankan dua syarat.Pertama, percaya kepada Allah SWT dengan sepenuh hati. Kedua, istiqamah dalam kebaikan. Demikianlah yang dijanjikan Allah SWT di dalam surat di atas.

Di dalam tafsirnya, Imam ar-Razi menjelaskan, ketenangan jiwa hanya bisa diraih dengan kebenaran hakiki dan amal saleh. Puncak kebenaran hakiki adalah mengenal Allah SWT. Sementara puncak amal saleh adalah istiqamah.Mengenal Allah SWT berarti mengetahui dan meyakini betul segala sifat dan nama baik (asmaul husna) yang dimiliki-Nya. Dengan demikian, seseorang tak akan lagi merasa khawatir dalam menghadapi hidup ini.

Sebab, ada Allah Yang Maha Pengasih, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Pemberi Rezeki, Yang Maha Pemurah, yang telah menjamin makanan dan keamanannya. Dalam konteks ini berlaku prinsip pantulan bola, yaitu semakin keras bola dilemparkan, semakin keras pula bola itu memantul. Artinya, semakin besar keyakinan dan kepercayaan kita terhadap Kemahakuasaan dan Kemahamurahan Allah SWT, semakin besar pula kasih sayang dan kemurahan Allah SWT kepada kita.

Ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam hadis qudsi, ''Sesungguhnya Aku tergantung sangkaan hamba-Ku kepada-Ku.'' (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Setelah mengenal Allah SWT, yang dituntut kemudian adalah istiqamah. Imam ar-Razi menyebutkan, yang dimaksud istiqamah di sini adalah konsistensi melakukan amal saleh, baik itu di saat lapang maupun sulit.

Sebab, amal saleh tidak bergantung pada situasi atau kondisi tertentu. Kapan dan di manapun, seorang Muslim yang berharap ridha Allah SWT pasti akan melakukan amal saleh. Rasulullah SAW menegaskan, ''Amal saleh yang paling disukai oleh Allah adalah yang dilakukan terus-menerus sekalipun itu sedikit.'' (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, dll).

Bila seorang Muslim percaya kepada Allah SWT dengan sepenuh hati dan istiqamah dalam kebaikan, niscaya Allah SWT akan memberinya kehidupan tenang, berupa malaikat-malaikat yang turun membisikkan ke dalam hatinya kalimat penyemangat, ''Jangan khawatir dan bersedih hati. Sebab, akan banyak keajaiban yang pasti menghampiri.''


Baca selanjutnya...

Senin, 13 Juli 2009

Belajar Mengukur Diri

Oleh Taufik Damas

Memilih sikap diam ternyata tak sesederhana yang dibayangkan. Status sosial, jabatan, dan gelar adalah bagian dari faktor yang menyebabkan orang sulit memilih diam.

Komentar tentu dibutuhkan dari orang yang menguasai masalah. Akurasi komentar sangat membantu menyelesaikan masalah. Selain akurasi, komentar harus didorong oleh semangat mencari jalan keluar yang tepat dan benar.
Tidak semua orang layak berkomentar dan tak ada orang yang memiliki kemampuan mengomentari semua masalah. Dibutuhkan kerendahan hati agar tak mengomentari sesuatu yang tidak dipahami secara pasti.

''Dan, janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan, dan hati akan diminta pertanggungjawaban semuanya.'' (QS Al-Israa' [17]: 36).


Penglihatan dan pendengaran adalah pintu masuk ilmu pengetahuan. Dengan dua indra ini, manusia mampu memahami apa yang bergerak di sekitarnya.
Namun, untuk mengomentari masalah tertentu, manusia dituntut menggunakan hati (nurani) yang cenderung pada kejujuran. Tanpa bimbingan hati, kebenaran yang ditangkap oleh penglihatan dan pendengaran bisa jadi dibelokkan.

Melalui ayat di atas, secara eksplisit, Allah SWT menuntut manusia untuk tidak memberikan komentar terhadap sesuatu yang tak dipahami pasti. Ada implikasi negatif jika komentar hanya didasari dorongan nafsu.

Kehidupan akan semakin kacau karena komentar tak didasari sinaran ilmu pengetahuan dan hati nurani. ''Jika satu masalah diserahkan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi, tunggu saat kehancurannya.'' (HR Bukhari).

Banyak orang yang tak menyadari bahwa dirinya tidak layak memberikan komentar untuk masalah tertentu. Perasaan gengsi dan ingin tampak menonjol menjadi faktor penyebabnya.

Ironisnya, fenomena seperti ini juga merambah ke dalam wilayah agama. Akibatnya, sebagai pelita kehidupan, kadang agama justru membuat masyarakat bimbang dan kebingungan karena disampaikan oleh mereka yang tak menguasai ilmu agama.

Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Akan datang tahun-tahun penuh penipuan pada manusia: pembohong dianggap benar dan orang benar dianggap pembohong; orang setia dianggap pengkhianat dan pengkhianat dianggap orang setia. Pada saat itu, akan ada banyak ruwaybidhah.''

Para sahabat bertanya, ''Apa yang dimaksud ruwaybidhah, wahai Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Orang pandir yang banyak bicara soal urusan masyarakat.'' (HR Ibnu Majah).

Baca selanjutnya...

Sabtu, 11 Juli 2009

Optimisme di Pagi Hari

Oleh Fajar Kurnianto

Rasulullah SAW bersabda, ''Tiada suatu hari bagi para hamba yang bangun pagi-pagi kecuali dua malaikat akan turun. Salah satu dari malaikat itu berkata, 'Ya Allah, berikanlah kepada orang yang bersedekah dengan pahalanya.' Malaikat yang kedua berkata, 'Ya Allah, berikanlah kerusakan pada orang yang kikir'.'' (HR Bukhari dari Abu Hurairah).

Hari terus berganti, roda kehidupan tak henti menggelinding. Manusia sebagai bagian dari alam yang terus bergerak ini, hendaknya bisa memanfaatkan momentum untuk mendapatkan kebaikan, dari hari ke hari.

Pagi hari mengawali denyut aktivitas manusia yang berbeda-beda. Manusia keluar dari rumah, menyebar di muka bumi, mencari penghidupan, dan meninggalkan sejenak keluarga di rumah. Wajah-wajah segar setelah beristirahat semalam mengiringi langkah yang optimistis.

Pagi selalu hadir dan itu berarti optimisme untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang mungkin didapatkan di hari kemarin. Dan, memang demikianlah manusia; harus senantiasa optimistis, seoptimistis pagi yang selalu menyapa.

Mengawali hari dengan niat baik dan dengan aktivitas yang baik adalah karakter yang seharusnya dimiliki oleh orang Mukmin. Sehingga, hari demi hari, kebaikanlah yang ia dapatkan. Tidak hanya kebaikan yang sifatnya materi, tetapi juga nonmateri.

Momentum pergantian hari dengan demikian justru menjadikannya semakin mulia di mata Allah SWT dan terhormat di mata manusia. Hasil yang didapatkannya pun bermanfaat buat dirinya dan keluarga serta lingkungan sekitar.

Pada hadis di atas, Rasulullah SAW mengungkapkan ada dua malaikat yang setiap pagi mendoakan manusia. Satu mendoakan kebaikan dan satunya lagi mendoakan keburukan.

Manusia yang memulai hari dengan baik (digambarkan dengan orang yang bersedekah) akan didoakan kebaikan oleh malaikat. Sementara manusia yang memulai hari dengan buruk (digambarkan dengan orang kikir) akan didoakan keburukan oleh malaikat lainnya.

Namun kerap kali, aktivitas manusia yang begitu padat membuatnya lupa untuk berniat melakukan kebaikan di pagi hari. Akibatnya, yang dihasilkan di hari itu pun hanya keuntungan yang sifatnya materi, kalau tidak malah kerugian karena sudah berniat buruk.

Rasulullah SAW, melalui hadis itu, mengingatkan kita untuk selalu mengawali hari dengan kebaikan. Awal yang baik akan menghasilkan akhir yang baik pula.


Baca selanjutnya...

Jumat, 10 Juli 2009

Membantu Tanpa Pamrih

Oleh Anang Rikza Masyhadi

Perbuatan baik harus dilandasi keikhlasan, karena tanpa keikhlasan perbuatan itu akan sia-sia belaka. Allah SWT hanya akan melihat perbuatan hamba-Nya yang ikhlas, yaitu yang berbuat baik semata-mata untuk mendapat ridha-Nya.

Yang tahu kedalaman keikhlasan seseorang adalah dirinya sendiri dan Allah SWT, karena Dia Maha Mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi. Justru, orang yang menampak-nampakkan secara demonstratif keikhlasannya di muka umum, yang perlu dipertanyakan.

Apalagi dengan berulang kali mengucapkan kepada orang lain, ''Aku ikhlas kok'', itu indikasi bahwa sebetulnya dia sedang terganggu keikhlasannya. Ketika orang berbuat baik dan masih butuh pengakuan orang lain, keikhlasannya masih diragukan. Ikhlasnya karena ada motif.

Menampakkan perbuatan baik sebetulnya tidak dilarang, asal tujuannya untuk memotivasi dan supaya dicontoh orang lain. Jadi, meskipun menampakkan, hatinya tetap ikhlas. Hanya saja, menampakkan itu berpotensi mengganggu keikhlasan, maka hati dan mentalnya harus kuat betul.

Maka dari itu, Alquran menegaskan bahwa menyembunyikan tetap lebih baik. ''Jika kamu menampakkan sedekahmu, itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, menyembunyikan itu lebih baik bagimu. (QS Albaqarah [2]: 271).

Ikhlas itu lillahi ta'ala! Do it and forget it, kerjakan dan lupakan. Dalam hal berderma, ikhlas adalah memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain.

Setelah itu kita lupakan bahwa kita pernah memberikan sesuatu kepadanya. Jangan pernah berpikir atau punya perasaan bahwa Allah SWT atau malaikat akan lupa tidak mencatatnya. Keliru besar.

''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS Albaqarah [2]: 264).

Menurut hadis Rasul SAW, ''Orang yang memamerkan perbuatan baiknya, maka pada hari kiamat Allah akan memamerkan kepada makhluk-Nya dengan mengejek dan mengecilkannya.'' (HR Ahmad).

Rasanya, negeri ini masih butuh orang-orang yang ikhlas. Jangan sampai terjadi orang memberikan bantuan untuk pamrih politik jangka pendek. Apalagi saling klaim jasa dan kebaikan yang pernah diperbuatnya untuk rakyat.

Berikanlah kepada rakyat yang terbaik, tanpa pamrih. Itulah ikhlas yang sesungguhnya. Rakyat butuh ketulusan, yaitu ketulusan para elite membantu meringankan kesulitan rakyat tanpa dikait-kaitkan dengan politik dan kekuasaan.


Baca selanjutnya...

Kamis, 09 Juli 2009

Makhluk Pelupa

Oleh Nawawi Efendi

Di antara kelemahan manusia adalah sifat lupa. Sifat ini melekat padanya, sehingga ada yang berpendapat bahwa kata 'insan' (manusia) berasal dari kata nasiya-yansa yang berarti lupa atau melupakan.

Allah SWT kerap menyebut sifat lupa dalam Alquran dan dikaitkan kepada manusia. ''Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.'' (QS Thaahaa [20]: 115).

Di satu sisi, lupa adalah sifat positif, ketika seseorang lupa terhadap masa lalu buruk yang pernah dialami, sehingga menghadapi hidup ini dengan optimistis. Atau, lupa akan kesalahan orang lain, sehingga tak ada keinginan membalas dendam.

Di sisi lain, lupa merupakan awal kebinasaan seseorang, ketika lupa kepada Allah SWT. Allah SWT pun membuatnya lupa terhadap hakikat dirinya sendiri. ''Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.'' (QS Alhasyr [59]: 19).

Seseorang yang sudah lupa terhadap hakikat dirinya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, ia akan berlaku sombong ketika mendapat kesuksesan dan akan frustrasi bila ditimpa kegagalan.

Untuk itu, Allah SWT seringkali memerintahkan kita untuk berzikir kepada-Nya. Zikir di sini tidak terbatas pada gerakan lisan semata, tapi juga kesadaran hati tentang kekuasaan Allah SWT dan keagungan-Nya.

Bahkan, secara khusus, Allah SWT menyebutkan, shalat adalah sarana paling tepat untuk berzikir kepada-Nya. ''Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.'' (QS Thaahaa [20]: 14).

Sebenarnya, melalui akal dan hatinya, manusia sudah bisa mengingat Allah SWT. Tapi, Allah SWT masih menurunkan kitab dan mengutus rasul-Nya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Di hari kiamat nanti tidak ada alasan bagi seseorang mengelak dari hukum dan pengadilan Allah SWT.
Namun, bila manusia masih tetap lupa dan berpaling dari peringatan-Nya, ia akan merasakan kehidupan yang sempit, dan di akhirat akan dikumpulkan dalam keadaan buta.

''Berkatalah ia, 'Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?' Allah berfirman, 'Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan'.'' (QS Thaahaa [20]: 125-126).

Semoga sifat lupa yang sudah menjadi tabiat kita dapat menjadi pemicu untuk berzikir kepada Allah SWT. Bukan malah menjadikannya tameng dan alasan melupakan-Nya.


Baca selanjutnya...

Rabu, 08 Juli 2009

Memimpin dengan Hati

Oleh Muhtadi Abdul Mun'im

Suatu pagi, Rasulullah SAW diberi semangkuk susu oleh tetangganya. Kemudian, beliau meminta Abu Hurairah memanggil para ahlus shuffah agar datang ke rumahnya untuk menikmati semangkuk susu yang diperolehnya itu.

Ahlus shuffah merupakan sekelompok orang miskin, tunawisma, dan belum mendapatkan pekerjaan. Satu per satu para ahlus shuffah dan Abu Hurairah mendapat giliran minum susu lebih awal dari Rasulullah SAW.
Setelah semua minum sepuasnya, baru kemudian beliau yang terakhir mendapat giliran menikmati susu tersebut. Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari melalui penuturan Abu Hurairah.

Bukan kali itu saja Rasulullah SAW menunjukkan kelembutan dan perhatiannya kepada rakyat miskin. Sekian banyak sabdanya mengajak kita untuk berbagi, bederma, dan melayani mereka yang membutuhkan.

''Berilah makan dan ucapkan salam kepada orang yang kau kenal dan belum dikenal,'' merupakan sabdanya ketika ditanya tentang Islam yang baik (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Perkataan Rasulullah SAW membela kepentingan wong cilik bukanlah sekadar orasi politik meraih simpati publik. Lebih dari itu, Nabi SAW menjadikan dirinya teladan atas apa yang diucapkannya.

Sangat berbeda dengan orang-orang yang cuma pandai berkata-kata, tapi jauh dari realita. Sungguh tercela orang yang mencoba meraih simpati dengan kata-kata manis, padahal dia sama sekali tak pernah melakukannya. Sifat semacam itu amat dibenci Allah (QS Ashshaf [61]: 3).

Kesungguhan membela rakyat kecil dapat dilihat pada kisah Rasulullah SAW di atas. Di antara keberhasilan Rasulullah SAW sebagai pemimpin adalah karena ketulusan hatinya.

Setidaknya, ada tiga hal penting yang harus dicontoh: memiliki empati, sanggup melayani, menjadikan dirinya teladan. Inilah ciri-ciri utama dari sifat kepemimpinan dengan hati.

Rasa empati diperlihatkan dengan cara kemampuan seorang pemimpin melihat dan merasakan kesulitan rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian, hatinya akan terpanggil untuk senantiasa melayani mereka yang membutuhkan pertolongan dan melakukan berbagai upaya mengangkat mereka dari jurang keterpurukan.

Seorang pemimpin yang baik akan menjadikan dirinya teladan bagi siapa pun untuk melakukan hal yang sama, yaitu melayani kebutuhan rakyat. Sayyidul qaumi khadimuhum--pemimpin sejati adalah yang sanggup melayani rakyatnya.

Ini jauh berbeda dengan sifat pemimpin yang justru meminta untuk dilayani, menuntut berbagai fasilitas, dan selalu minta diistimewakan. Sungguh beruntung, jika bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang menggunakan hatinya.


Baca selanjutnya...

Senin, 06 Juli 2009

Perisai Sabar

Oleh Khalili Anwar

Perjuangan para Nabi adalah gerakan kesabaran, sabar dalam menjalankan perintah Allah SWT dan sabar menghindari larangan-Nya. Sebelum diterpa cobaan, hatinya telah dibalut perisai sabar.Mereka menyiapkan perisai sabar terus-menerus. Ahmad bin Hanbal menuturkan, Alquran mengulang kata sabar sebanyak 90 kali.

Pengulangan kata sabar menandakan betapa pentingnya energi makna di balik kata sabar itu. Kapan momentum yang tepat mengenakan perisai sabar? Apakah kita mengenakan perisai sabar hanya ketika terimpit cobaan dan ujian?Jamak dipahami, perisai sabar dikenakan saat menghadapi cobaan atau ujian yang tak diinginkan. Andai orang tidak mengenakan perisai kesabaran, niscaya akan limbung, terjatuh pada sikap kecewa, sedih, menderita, berujung pada frustrasi.

Bagi orang yang mengenakan perisai sabar, niscaya akan jauh dari ancaman frustrasi. Karena frustrasi hanya patut mengena pada orang kafir. ''Jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.'' (QS Yusuf [12]: 87).Orang bersabar niscaya akan terhindar dari putus asa, lantaran sabar adalah pintu awal yang dapat menyelamatkan manusia dari perasaan negatif. Rasulullah SAW bersabda, ''Kesabaran itu pada pukulan pertama.''

Jika respons pertama disertai kesabaran, sontak kebahagiaan senantiasa terus menyusupi hati. Kesabaran berperan menghadirkan ketenangan hati.Bersabar dalam kemiskinan. Bersabar dari cercaan dan makian. Bersabar dengan ujian yang menerpa silih berganti. Kesabaran seperti itu akan meneguhkan jiwa meraih kemuliaan.
Pun demikian, perisai sabar tak hanya dikenakan di saat terdepak musibah. Perisai sabar juga semestinya dikenakan ketika berada dalam kelapangan. Betapa banyak orang yang mampu bersabar dalam kesulitan, akan tetapi tak bisa bersabar dalam kelapangan.

Model pribadi yang bersabar dalam kejayaan dan bisa dicontoh adalah pada diri Nabi Sulaiman. Dikisahkan, walau Nabi Sulaiman termasuk sosok kaya raya yang kekuasaannya memenuhi seluruh kerajaan, dari manusia, binatang, dan golongan jin, namun makanan sehari-hari beliau tidak berasal dari gajinya.

Beliau makan dari hasil jerih payahnya membuat anyaman. Dari kebiasaan itu, tidak hanya rakyat dari kalangan manusia yang kagum pada perilaku sabarnya Nabi Sulaiman, burung-burung bahkan bangsa jin menaruh kagum padanya.Ternyata bersabar dalam kelapangan tidak mengurangi sedikit pun kehormatan beliau. Bahkan, semakin meninggikan derajatnya di hadapan Allah SWT.


Baca selanjutnya...

Sabtu, 04 Juli 2009

Bicara Baik atau Diam

Oleh M Mahbubi Ali

Allah SWT menciptakan nikmat lisan sebagai sarana beribadah. Dengan lisan, manusia diperintahkan menyampaikan kebaikan, saling menasihati dalam kebenaran, dan memperbanyak zikir kepada Allah SWT.

Jika nikmat ini tak dapat difungsikan dengan baik, tapi justru digunakan untuk menggunjing, memfitnah, berkata kasar, memaki, memecah belah, dan lainnya, maka diam adalah pilihan paling tepat sebagaimana perintah Rasulullah SAW. ''Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berbicara dengan baik atau diam.''

Lisan laksana pisau bermata dua. Ia bisa membawa manfaat yang besar, tapi juga bisa menimbulkan mafsadat sangat dahsyat. Ketika Rasulullah SAW ditanya apa yang paling ditakuti pada umatnya, Nabi SAW menunjuk lisannya seraya berkata, ''Inilah (yang paling aku takuti).''

Begitu besarnya bahaya yang ditimbulkan lisan, Rasulullah SAW mengajarkan umatnya agar menjaga lisan dengan cara diam, kecuali pembicaraan yang membawa maslahat. Diam adalah benteng bagi lidah manusia dari perkataan sia-sia.

Banyak hikmah yang dapat dipetik dari sikap diam. Diam adalah ibadah tanpa mengeluarkan tenaga, perhiasan tanpa harus berhias, kharisma tanpa diminta, kerajaan tanpa singgasana, benteng tanpa pagar, istirahat bagi kedua malaikat pencatat amal, dan penutup segala aib.

Rasulullah SAW pernah mengajarkan bahwa ada dua amal ibadah yang paling mudah dilakukan manusia, yaitu diam dan budi pekerti yang baik. Rasul SAW juga mengabarkan kebanyakan manusia masuk neraka disebabkan dua hal: lisan dan kemaluan.

Para sahabat dan ulama terdahulu telah memberikan teladan tentang bagaimana menjaga lisan dari perkataan sia-sia dengan diam. Abu Bakar RA sampai meletakkan kerikil di dalam lisannya karena khawatir telanjur mengeluarkan kata-kata tidak berguna.

Ketika ditanya, beliau menjawab sambil menunjuk lisannya, ''Inilah yang menjerumuskan aku pada jurang kecelakaan.'' Selama 40 tahun, Manshur bin Mu'taz tidak pernah berbicara setelah Isya. Rabi' bin al-Khaitsam tidak pernah melakukan pembicaraan tentang urusan dunia selama 20 tahun.

Setiap pagi, beliau selalu meletakkan pena dan kertas di sampingnya dan menulis setiap perkataan yang keluar dari lisannya. Sore harinya, beliau memeriksa tulisan itu, lalu melakukan introspeksi diri. Selanjutnya meminta ampun kepada Allah SWT.


Baca selanjutnya...

Jumat, 03 Juli 2009

Syahwat Politik

Oleh A Ilyas Ismail

Pada suatu hari, Abu Dzar al-Ghifari meminta kepada Rasulullah SAW agar diangkat menjadi pejabat. Tapi, Nabi SAW menolaknya.Sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu, kepadanya Nabi SAW berkata, ''Tidak, Abu Dzar, engkau orang lemah. Ketahuilah, jabatan itu amanah. Ia kelak di hari kiamat merupakan kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkannya dengan benar dan melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan benar pula.'' (HR Bukhari).

Imam Nawawi menyebut hadis di atas merupakan pedoman dasar dalam berpolitik. Politik dapat menjadi sumber petaka bagi orang yang tidak mampu dan tidak bertanggung jawab.Sebaliknya, kata Nawawi, politik dapat pula menjadi ladang pengabdian dan amal saleh yang subur bagi orang yang mampu dan bertanggung jawab. Politik (kekuasaan) bukan sesuatu yang buruk. Ia ibarat pisau bermata dua: bisa baik dan buruk.

Ia menjadi baik dengan tiga syarat, seperti disebut dalam hadis di atas, yaitu berada di tangan orang yang tepat (capable ), diperoleh dengan cara yang benar ( acceptable ), dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat ( responsible ).

Sayangnya, dalam percaturan politik, orang kerap hanya bicara satu hal, yaitu bagaimana merebut kekuasaan dan mencapai tahta, bukan bagaimana mempergunakan kekuasaan itu serta mempertanggungjawabkannya kepada rakyat, dan terlebih lagi kepada Tuhan, Allah SWT. Diakui, kuasa (tahta) memang menggiurkan. Sebab, dengan tahta, orang membayangkan dapat mencapai semua impian dan keinginannya. Menurut Imam Ghazali, dibanding harta, tahta jauh lebih menggoda.

Ada tiga alasan mengapa demikian. Pertama, kuasa (tahta) dapat menjadi alat ( wasilah ) untuk memperbanyak harta. Dengan tahta, seorang bisa memperkaya diri.
Tidak demikian sebaliknya. Orang yang telah menghabiskan seluruh hartanya, tidak dengan sendirinya ia bisa mencapai tahta.Kedua, pengaruh kekuasaan relatif lebih kuat dan lebih lama. Harta, kata Imam Ghazali, bisa hilang karena dicuri atau berkurang karena inflasi.

Tidak demikian dengan kekuasaan. Kekuasaan dalam arti pengaruh seorang pemimpin di hati para pengikut dan pendukungnya, tak akan pernah hilang dan berkurang. Ketiga, kekuasaan menimbulkan dampak publikasi dan popularitas yang sangat luas. Begitu seorang memenangkan pemilihan umum, misalnya, maka namanya akan terkerek tinggi.Dalam sekejap, ia akan dikenal dan tersohor di seluruh negeri, bahkan di seluruh dunia. Tak heran bila kekuasaan terus diburu dan diperebutkan oleh manusia sepanjang masa.


Baca selanjutnya...

Kamis, 02 Juli 2009

Keguncangan Jiwa

Oleh M Aziz W Brilianto

Hidup manusia pada hakikatnya merupakan perjalanan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, jalan terjal dan berlubang sering menghadang di tengah perjalanan.
Walau sudah mencari jalan alternatif, tapi kadang tidak ditemukan juga, sehingga tidak ada pilihan kecuali menempuhnya. Saat akan menempuh kesulitan itu, jiwa sering kali berguncang.

Ini pertanda jiwa manusia sedang berada di antara tiga kondisi. Bisa lebih tinggi, sama, dan lebih rendah dari kondisi sebelumnya.Ada peluang dan ancaman di dalamnya. Manusia dapat menentukan pada titik mana kondisi yang akan dipilihnya. Jiwanya bisa hancur sehancur-hancurnya, atau naik ke tangga yang lebih tinggi.

''Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.'' (QS Asysyams [91]: 7-8).Bagi yang berkarakter lemah, perjalanannya pun dihentikan. Ia berhenti sebelum berbuat, berkreasi, dan mengerahkan seluruh potensinya. Ia tak menyadari kesempurnaan dirinya. Padahal, antara teraihnya tujuan dengan posisinya saat ini, hanya dibatasi sebuah jalan terjal dan berlubang itu.

Ia berhenti karena ditakuti oleh bayang-bayang ketakutan yang dibuatnya sendiri. Ia cemas pada kecemasan yang sebenarnya belum tentu terjadi, tapi sudah dicap pasti terjadi pada dirinya.Manusia dengan kondisi ini akan mengalami dua keguncangan jiwa. Yaitu, keguncangan saat melihat jalan yang terjal dan berlubang. Juga keguncangan karena tujuan hidupnya tidak akan pernah tercapai. Akhirnya, yang menghiasi hidupnya hanyalah berkeluh kesah.

''Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.'' (QS Alma'aarij [70]: 9-20).Adapun bagi yang berkarakter kuat, keguncangan jiwa dikelola menjadi fenomena penyesuaian diri bagi terbentuknya keseimbangan jiwa baru yang lebih tinggi. Ada proses pergulatan untuk menaklukkan ketakutannya.

Muncul keyakinan, karakter, prinsip, dan obsesi hidup baru yang terbentuk. Ia menjadi manusia baru yang telah teruji. Ketakutan diubahnya menjadi energi keberanian dan optimisme. Kecemasannya diganti dengan berlindung, memohon, dan bersandar kepada pertolongan dan perlindungan Allah SWT semata. Seperti kisah pasukan Thalut yang jiwanya semakin kokoh dan berani, saat melihat tentara Jalut yang jumlahnya lebih banyak dan terlihat lebih kuat.

''Tatkala Jalut dan tentaranya telah tampak oleh mereka, mereka pun berdoa, 'Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir'.'' (QS Albaqarah [2]: 250).


Baca selanjutnya...

Rabu, 01 Juli 2009

Manifestasi Tauhid

Oleh Ma'ruf Mq

Naluri dan dambaan akan sesuatu yang ideal-material (harta dan kesenangan) adalah wajar. Bahkan, dianjurkan oleh ajaran Islam sepanjang harta dan kesenangan itu diperoleh dengan cara halal, digunakan sebagai sarana dan prasarana yang bermanfaat, dan sesuai tuntunan syariat.Tuntutan itu tak dimaksudkan untuk melarang manusia mencintai harta dan kesenangan. Melainkan untuk mencegah pengingkaran akan ketauhidan kepada Allah SWT sebagai pemilik alam semesta.

Mengapa? Karena kecintaan kepada harta dan kesenangan terkadang berubah wujud menjadi anarki kepemilikan. Ketertarikan akan harta dan kesenangan berlangsung hanya sebentar sebagai akibat hasrat kepemilikan yang tak pernah puas.Ada beberapa hal yang dapat dijelaskan dalam hubungan ini. Pertama, unsur depersonalisasi dalam hubungan pemilik dan hartanya.Harta dan kesenangan bukan lagi objek konkret yang disenangi pemilik, tapi sudah menjadi lambang status, suatu perluasan kekuasaan pembentuk ego. Setelah mendapatkannya, pemilik telah mendapatkan sepotong ego baru.

Kedua, memiliki harta atau kesenangan baru, akan menambah nafsu kepemilikan. Demikian cermin hubungan masyarakat modern, semuanya diukur oleh rasa kepemilikan materi semata. Dus, yang muncul kemudian adalah sebuah hubungan yang selalu ingin menguasai ntarsesama.Meningkatnya konflik kejiwaan secara personal, lalu berimbas pada tatanan masyarakat dengan soliditas yang minimalis dan miskin nilai.

Dalam Islam, harta haruslah difungsikan untuk kemaslahatan diri dan masyarakat. Karenanya, harta memiliki fungsi individual dan sosial sebagai manifestasi keimanan dan ketauhidan seseorang.Tauhid sebagai bentuk kepercayaan, berarti tak hanya dipahami sebatas penegasan keesaan Allah SWT. Artinya, tak adanya pemisahan antara spiritualitas dan keduniawian, seluruh aspek sosial diintegrasikan dalam satu wadah keesaan Allah SWT.

Untuk mengintegrasikan aspek-aspek itu, Alquran telah sangat jelas dan tegas memberikan batasan penggunaan harta, seperti larangan riba,ikhtikar, gharar, berlebih-lebihan (israf-itraf) dan penimbunan.Dengan penekanan fungsi sosial dan pembatasan itu, naluri kerakusan manusia pada harta akan terkendali, sehingga manusia tidak bertindak melampaui batas yang bisa menjerumuskannya.

''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.'' (QS Ali Imran [3]: 14).


Baca selanjutnya...

Selasa, 30 Juni 2009

Memilih Orang yang Tepat

Oleh Anang Rikza Masyhadi

Dalam suatu majelis, terjadi dialog antara Rasulullah SAW dengan para sahabat. Rasulullah SAW menyampaikan, ''Jika amanah telah hilang (tidak dipegang lagi dengan teguh), tunggulah saat kehancurannya.''Sahabat bertanya, ''Ya Rasul, bagaimana seseorang bisa menghilangkan amanah itu?'' Rasul SAW menjawab, ''Bila suatu urusan (amanah) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.'' (HR Bukhari).

Hadis Rasulullah SAW itu menengarai hilangnya amanah, terutama disebabkan suatu urusan yang dipegang, ditangani atau dikelola oleh yang bukan ahlinya, yaitu yang tidak mengenal dan menguasai bidang pekerjaannya. Dalam sistem ajaran Islam, ini masalah fundamental, karena amanah menyangkut urusan dan nasib orang banyak.

Dalam manajemen modern, hadis Nabi SAW tadi mendorong kaum Muslimin agar dalam mengelola sesuatu, berorientasi pada asas profesionalitas. Ketika adagium Inggris mengisyaratkan perlunya the right man, in the right place, in the right time, sesungguhnya Islam telah jauh lebih dini menggariskannya, 14 abad yang lalu.

Persoalannya, di lapangan sering terjadi orang yang sebetulnya tepat mengemban amanah, justru tak dipilih dan dipercaya masyarakat. Dalam memilih dan menentukan orang untuk suatu urusan tertentu, nalar dan objektivitas kita justru sering digadaikan untuk mengabdi pada kepentingan jangka pendek. Ini biasanya lebih karena faktor-faktof askriptif, yaitu faktor kenisbatan. Misalnya, karena yang mau dipilih itu masih ada hubungan famili, satu suku, tetangga sekampung, satu almamater, sama-sama satu ormas atau satu partai.

Pada saat yang sama, faktor kompetensi, yaitu kecakapan, kemampuan, dan kejujuran, menjadi terabaikan. Islam mewajibkan kita agar dapat menciptakan dan membuka peluang hanya kepada mereka yang kompeten, kapabel, dan kredibel. ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.'' (QS Annisaa [4]: 58).

''Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Almaidah [5]: 8).

Kaum Muslimin Indonesia harus bersatu membuat barisan yang kokoh untuk memilih orang-orang yang diyakini mampu mengurus 220 juta manusia, dari Sabang sampai Merauke. Inilah kesempatan emas kita mengubah nasib bangsa sebagaimana diwasiatkan Alquran (QS ar Ra'd [13]: 11) agar menjadi lebih sejahtera.


Baca selanjutnya...

Rabu, 24 Juni 2009

Berdebat

Oleh Darul Qotni Abbas

Secara terminologi, debat (al-jadal atau al-jidal) identik dengan dialog atau berbincang (at-tahawur). Berdebat identik dengan mempertahankan kebenaran yang dipahami, diyakini, dan diklaim sebagai dasar manusia berpijak dalam jalan kehidupannya.

Mempertahankan pendapat yang argumentatif, rasional, dan dapat dipahami dengan tetap berpegang pada etika berdebat, adalah mutlak harus dilakukan. Di musim kampanye pemilihan presiden kali ini, acara debat seolah menjadi acara wajib yang disuguhkan kepada publik.

Namun, perlu diingat bahwa dalam berdebat, ada asas-asas syariat yang perlu ditaati, semisal, jangan mencaci, menghina, membuka aib, dan kritik-destruktif.

Debat pada dasarnya adalah menyampaikan hujjah atau yang diduga sebagai hujjah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya adalah untuk membela pendapatnya atau mazhabnya, membatalkan hujjah lawannya, serta mengalihkannya pada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.

Debat adalah perkara yang diperintahkan syariat untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang bathil. Dalilnya, antara lain, adalah firman Allah SWT, ''Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.'' (QS Annahl [16]: 125).

Rasulullah SAW juga sering mendebat kaum musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengembang dakwah akan senantiasa menyerukan Islam, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan memerangi pemikiran yang sesat.

Karena debat telah ditentukan sebagai cara (uslub) untuk melakukan semua aktivitas tersebut, maka debat menjadi suatu kewajiban, sesuai dengan kaidah fikih. Namun demikian, ada satu jenis perdebatan yang dicela oleh syariat, bahkan dianggap sebagai bentuk kekufuran. Ini ketika mendebat Allah SWT dan ayat-ayat-Nya.

Allah SWT berfirman, ''Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar, akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).'' (QS Arra'd [13]: 1).

Berdebat tentang Alquran untuk menetapkan bahwa Alquran bukanlah mukjizat atau bukan berasal dari Allah SWT, juga merupakan suatu kekufuran. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah, pernah bersabda, ''Berdebat tentang Alquran adalah kekufuran.'' (HR Ahmad).

Semoga kita terhindar dari perdebatan yang membawa pada kekufuran. Sebaliknya, melakukan debat untuk menyingkap kebenaran serta mempertebal keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.


Baca selanjutnya...

Selasa, 23 Juni 2009

Narsisisme dan Ekshibisionisme

Oleh Lukman Solihin

Perkembangan teknologi telah membawa pengaruh besar bagi kehidupan umat. Teknologi memberikan kemudahan berbagai aktivitas positif, tapi juga bisa menjadi perantara terciptanya perilaku menyimpang yang negatif.

Pengaruh negatif tampak pada menguatnya gejala narsisisme dan ekshibisionisme yang makin marak. Narsisisme adalah kecenderungan suka mempertunjukkan kelebihan diri. Sedangkan ekshibisionisme adalah dorongan psikologis untuk memperlihatkan hal-hal atau tindakan yang tak senonoh.

Telepon genggam berkamera kerap disalahgunakan sebagai alat untuk merekam kelebihan diri (ketampanan atau kecantikan) hingga mempertunjukkan bagian-bagian tubuh yang haram dilihat oleh bukan muhrimnya. Tak jarang foto atau video porno direkam dan disebarkan melalui telepon.

Perkembangan jejaring sosial dunia maya juga telah memerantarai individu Muslim 'unjuk gigi'. Situs-situs jejaring sosial seolah memberikan ruang lapang untuk bersikap narsis, bahkan mempertontonkan hal-hal yang bersifat ekshibisionistis.

Perkembangan ini tentu saja memprihatinkan, karena perangkat teknologi yang ada tidak digunakan sebagaimana tuntunan Allah SWT. Allah SWT tidak melarang mencintai diri sendiri.

Sebab, setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk mempertebal rasa percaya diri dan rasa syukur kepada Allah SWT, manusia dianjurkan untuk melihat karunia yang dilimpahkan Allah SWT.

Hanya saja, mencintai diri sendiri tak berarti harus menunjukkan kelebihan diri di hadapan umum. Sikap narsis adalah gejala membanggakan kelebihan dan keunggulan diri, sehingga dapat menimbulkan sifat sombong dan takabur.

Sifat sombong inilah yang dibenci Allah SWT. ''Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.'' (QS Luqman [31]: 18).

Sementara seorang ekshibisionis adalah yang suka mempertontonkan auratnya. Memperlihatkan aurat dilarang karena dapat mendekatkan seseorang kepada perbuatan zina. Setiap Muslim juga diingatkan untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluannya.

''Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.'' (QS Annuur [24]: 30).

Di sinilah kita perlu arif memaknai perangkat teknologi. Setiap perangkat teknologi komunikasi dan informasi hampir selalu menganut diktum yang sudah lama kita kenal, man behind the gun, yaitu bergantung pada siapa dan untuk apa perangkat teknologi itu digunakan. Apakah demi kebaikan, atau sebaliknya untuk kemungkaran.


Baca selanjutnya...

Senin, 22 Juni 2009

Pribadi Zuhud

Oleh Muhtadi Abdul Mun'im

Pribadi seperti apakah yang disenangi Allah SWT dan manusia? Pertanyaan semacam ini pernah disampaikan seseorang kepada Rasulullah SAW dalam sebuah hadis riwayat Sahl bin Sa'd as-Sa'idi.

Saat itu, Nabi SAW menjawab, ''Bersikap zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah akan mencintaimu. Dan, bersikap zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia niscaya manusia akan menyukaimu.'' (HR Ibnu Majah).

Sabda Nabi SAW di atas punya dua kalimat kunci. Pertama, 'zuhud terhadap dunia' menunjukkan bahwa dunia adalah jembatan yang mengantarkan seseorang pada tujuan akhirat. Orientasi akhirat merupakan bentuk kebebasan spiritual yang melepaskan diri dari belenggu keduniawian.

Meskipun lebih dikenal sebagai sikap yang berorientasi pada akhirat, zuhud bukan berarti sikap melupakan kehidupan dunia atau mengabaikannya. (QS Alqashash [28]: 77).Zuhud bukan antidunia, menjauhi dunia, atau memilih untuk hidup sengsara. Justru, zuhud membangun optimisme dengan meletakkan harapan pada ke-Mahakuasa-an Allah SWT.

Kedua, 'zuhud terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain' merupakan bentuk sikap mandiri, sederhana, dan empati. Dengan zuhud, orang tak silau gemerlap harta orang lain.Orang tak terobsesi jabatan orang lain. Segala yang dimiliki orang lain bukan perhatian utama. Malah, zuhud mengalihkan perhatian dari 'apa yang dimiliki orang' pada 'orang yang tidak memiliki apa-apa'.

Di antara sumber masalah kemanusiaan, salah satunya berasal dari kecintaan berlebih terhadap dunia dan keinginan menguasai apa yang dimiliki orang lain.Sebut saja korupsi, kerusakan lingkungan, degradasi moral, dan narkoba merupakan turunan dari kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Perselingkuhan, konflik, dan kekerasan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kerakusan dan ambisi menguasai hak orang lain.

Zuhud akan mengembalikan pusat kehidupan manusia dari egosentris ke teosentris. Kehidupan yang berpusat pada egosentris melahirkan sikap mementingkan diri sendiri, cinta dunia, rakus, kikir, serta tidak peduli pada lingkungan dan manusia di sekelilingnya.

Pada gilirannya, egosentris (atau antizuhud) menjadi salah satu sumber petaka kemanusiaan, baik itu sifatnya pribadi maupun melebar ke masyarakat luas. Dengan zuhud, manusia diharapkan tidak lagi mementingkan diri sendiri. Zuhud melahirkan paradigma teosentris yang menegaskan fungsi khalifatullah sebagai bagian dari misi suci.

Misi ketuhanan ini diimplementasikan pada perilaku yang peduli terhadap masalah kemanusiaan. Orang yang berpribadi zuhud semacam ini tentu saja dicintai Allah SWT, penghuni langit dan bumi.


Baca selanjutnya...

Kamis, 18 Juni 2009

Keistimewaan Wanita

Oleh Rahmat HM

Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, ''Berwasiat baiklah kamu terhadap wanita, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Maka, kalau kamu meluruskannya dengan kekerasan/paksa, pasti dia patah, dan jika kamu biarkan, dia tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat baiklah kamu terhadap wanita.'' (HR Muttafaq Alaih-Riyadlus Shalihin, 148).

Di muka bumi ini, tidak ada agama yang sangat memerhatikan dan mengangkat martabat kaum wanita selain Islam. Islam memuliakan wanita dari sejak ia dilahirkan hingga meninggal dunia.Di dalam Alquran, Allah SWT telah memberikan perhatian yang sangat khusus kepada kaum wanita. Terbukti dalam Alquran terdapat surah An-Nisaa (perempuan/wanita).

Ada beberapa hal yang mendorong mengapa wanita selalu menjadi sangat diperhatikan. Yang pertama, jumlah kaum wanita jauh lebih banyak dari kaum pria. Perbandingannya adalah 1:4 (surah An Nisaa [4] ayat 37).Selanjutnya yang kedua, wanita adalah tiang negara. Artinya, tegak atau runtuhnya negara akan sangat bergantung pada kaum wanitanya. Bila kaum wanitanya sholihah (baik), negaranya pun baik. Sebaliknya bila kaum wanitanya thalihah (jelek), negara bisa runtuh.

Wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak maka akan rusak pulalah generasi tersebut. Oleh karena itu, Islam meletakkan wanita pada tempatnya, melindungi dan menghargai wanita. Wanita mempunyai nilai dan fungsi yang tinggi dalam pandangan Allah bila mereka konsisten memegang ajaran dan tuntunan Islam.

Bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dan wanita dari asal yang sama seperti termaktub dalam firman Allah: ''Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.'' (QS Annisa [4]: 1). Laki-laki dan wanita disamakan haknya untuk mendapat balasan dari Allah berdasarkan amalnya. ''Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.'' (QS Annisa [4]: 124). Sehingga, tidak ada alasan untuk merasa rendah menjadi seorang wanita, karena kedudukan utama yang diberikan Islam kepada wanita mukminah.


Baca selanjutnya...

Rabu, 17 Juni 2009

Menanam 'Pohon' Amal

Oleh Rian Hidayat El-Padary

Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah ta'ala Mahabaik, maka berbuat baiklah kamu sekalian.'' (HR Ibnu Abi Ashim).Kehidupan dunia adalah salah satu tempat persinggahan. Kehidupan dunia adalah salah satu rangkaian episode yang dijalani dan akan dilewati. Kehidupan dunia ibarat tempat menanam yang akan dipanen buahnya di kehidupan akhirat kelak.

Bila kita menanam amal baik, maka buah yang akan dipanen pun akan baik pula. Begitu sebaliknya, jika amal buruk yang kita semai, maka buah keburukan yang akan kita dapatkan.Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, ada kehidupan akhirat yang khairu wa abqa' (lebih baik dan lebih kekal) yang akan dijalani setelah kehidupan dunia usai. Untuk itu, Islam mengajarkan agar umat memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mengisi waktu dengan amalan ketaatan, sehingga bisa menuai keberkahan nantinya.

Jika tahun diibaratkan dengan pohon. Sedangkan bulan adalah cabangnya, hari adalah dahannya, jam adalah daunnya dan amal perbuatan adalah buahnya. Maka, barangsiapa yang menanam ketaatan, maka yang tumbuh adalah ketaatan dengan buah-buahnya yang manis. Akan tetapi, barang siapa yang menanam kemaksiatan dan dosa, maka yang tumbuh adalah pohon dengan buahnya yang pahit dan menjijikkan.

Telah bersabda Rasulullah SAW, ''Orang yang piawai yang menguasai nafsunya dan beramal untuk masa sesudah mati, sedangkan orang yang dungu ialah yang melepaskan kendali nafsunya dan selalu berangan-angan kosong terhadap Allah.'' (HR Ahmad dan Tirmidzi).Jika kita menginginkan buah yang manis dengan bentuknya yang indah kelak di akhirat, maka mulai saat ini, marilah kita tanam pohon ketaatan, dengan mengisi waktu yang kita miliki dengan hal-hal yang bermanfaat dan bernilai ibadah.

Dalam kehidupan dunia, kita diibaratkan perahu kokoh yang sanggup menahan beban, terbuat dari kayu terbaik di dunia, dengan layar gagah menantang angin. Kesejatian kita adalah berlayar mengarungi samudra, menembus badai, dan menemukan pantai harapan. Sehebat apa pun perahu diciptakan, tak ada gunanya bila hanya tertambat di dermaga.
Yang memisahkan perahu dengan pantai harapan adalah topan badai, gelombang, dan batu karang. Yang memisahkan kita dengan keberhasilan adalah masalah yang menantang. Yang memisahkan kita dengan buah yang manis adalah kemauan berkorban dengan menanam amal kebajikan.

Di situlah tanda kesetiaan teruji. Hakikat perahu adalah berlayar menembus segala rintangan. Hakikat diri kita adalah berkarya menemukan kebahagiaan. Hakikat hidup kita adalah beramal menebar kebaikan. Marilah kita menanam amal kebaikan untuk kita panen di kampung akhirat kelak.


Baca selanjutnya...

Selasa, 16 Juni 2009

Negara dan Iman

Oleh Saripudin

Ingar-bingar kampanye capres-cawapres dalam pekan-pekan ini tidak terlepas dari upaya saling menebar harapan ke arah yang lebih baik, apa pun format kampanyenya. Intinya, para kandidat menjanjikan perubahan dan akan menjadikan wajah Indonesia lebih baik di masa depan.

Satu hal yang pasti bagi kaum Muslim adalah bagaimana hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus jauh lebih baik dari hari ini. Tentu saja ini mencakup seluruh dimensi dan semua aspek dalam kehidupan kita.

Allah SWT telah menurunkan dienul Islam ini secara lengkap dan sempurna yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Allah Mahatahu terhadap apa yang menjadi hajat ataupun kebutuhan hidup manusia, dan untuk itulah, Dia telah memberikan atau menyediakan apa saja yang menjadi kebutuhan manusia dan makhluk lainnya.''... dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri''. (QS An-Nahl [16]: 89).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam adalah sebuah sistem integral holistik, komprehensif, yang mengatur tentang hidup dan kehidupan. Sebuah sistem yang menghendaki adanya harmonisasi dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Negara bisa menjadi sarana implementasi efektif upaya ke arah lebih baik, lebih sejahtera, lebih bahagia, baik dalam dimensi duniawi maupun ukhrawi. Tapi, syaratnya, negara perlu dikelola dengan sistem yang baik dan dijalankan oleh pribadi-pribadi yang baik pula.

Setiap energi positif yang terpancar dari pribadi-pribadi yang saleh ini akan berpengaruh positif pula bagi kehidupan banyak orang. Orang yang saleh pastilah orang yang beriman, karena iman merupakan energi yang dahsyat untuk mendorong manusia untuk selalu berada di jalan yang lurus, jujur, bersih, amanah, dan disiplin.

Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sungguh, Allah memberi pengajaran yang sebaik-baik kepadamu.'' (QS an-Nisaa [4]: 58).

Dr Yusuf Qaradhawy menjelaskan dua peran dan fungsi negara. Pertama, memelihara keimanan rakyatnya dengan menekan bahkan menghilangkan hambatan-hambatan (utamanya dari sisi ekonomi) yang dapat mengganggu hubungan mereka dengan Allah SWT. Adapun kedua, membina keimanan rakyat agar kualitas hubungan dengan Allah SWT dapat terus meningkat.

Jika kedua peran dan fungsi negara ini dapat dilakukan, maka dipastikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan jauh lebih baik. Dengan iman dan takwa yang berkualitas, negara akan makmur sejahtera. ''Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.'' (QS al-A'raaf [7]: 96).


Baca selanjutnya...

Senin, 15 Juni 2009

Sukses Lahir dan Batin

Oleh Taufik Damas

Suatu hari, Nabi SAW masuk ke masjid dan mendapati Abu Umamah berada di dalam. Nabi bertanya, ''Mengapa kau ada di sini padahal sekarang bukan waktu shalat?'' Abu Umamah menjawab, ''Aku sedih dan gundah karena banyak utang.''

Rasulullah kemudian berkata, ''Maukah aku ajarkan kalimat (doa) yang membuat Allah akan menghapuskan kesedihan dan melunasi utang-utangmu?'' ''Tentu,'' kata Abu Umamah.

Nabi menyarankan, ''Setiap pagi dan sore, ucapkanlah, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perasaan sedih dan gundah, sikap lemah dan malas, sikap pengecut dan bakhil, serta lilitan utang dan tekanan orang lain.''

Abu Umamah berkata, ''Aku lantas melakukan ajaran Nabi SAW, kemudian Allah menghapus kegundahanku dan melunasi utang-utangku.'' (HR Abu Daud). Melalui hadis di atas, sejatinya Nabi SAW sedang menyampaikan kiat-kiat kesuksesan. Walau redaksi hadis mengajarkan doa, makna yang terkandung memastikan keharusan bekerja untuk meraih kesuksesan.

Kita menemukan poin-poin berikut ini: ajaran memohon perlindungan dari kesedihan dan kegundahan (psikologis); kelemahan dan kemalasan (mental); sifat pengecut dan bakhil (sikap sosial); serta lilitan utang dan tekanan orang lain (sosial-politik).

Dalam teori motivasi apa pun, sasaran utama yang mesti diperbaiki adalah sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan. Ketidakberanian bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan di hadapan kondisi objektif adalah tanda sikap pengecut. Bagi pelaku bisnis seperti Abu Umamah, hampir tidak pernah bebas dari utang. Tetapi, utang haruslah rasional sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing.

Yang diajarkan oleh Nabi SAW di atas adalah berlindung dari lilitan utang (ghalabah al-dain) atau utang yang lebih besar dari kemampuan. Ketika utang lebih besar dari kemampuan dan yang bersangkutan tidak mampu membayar, pihak yang memberikan piutang akan menagih dan menekan dengan berbagai cara.

Dalam keadaan yang demikian, Rasulullah mengajak kita membangun jiwa yang ceria, mental yang kuat, keberanian, murah hati, serta bebas dari lilitan utang dan tekanan orang lain. Beliau juga menegaskan bahwa yang dibutuhkan untuk meraih hidup tenang dan bahagia adalah senantiasa bekerja keras dan berdoa.

Berdoa tanpa kerja adalah sikap manja yang tidak direstui oleh Islam. Kerja tanpa doa akan menjauhkan diri kita dari spiritualitas yang menenteramkan. Kerja dan doa adalah kunci meraih kesuksesan lahir dan batin.


Baca selanjutnya...

Oleh Taufik Damas

Suatu hari, Nabi SAW masuk ke masjid dan mendapati Abu Umamah berada di dalam. Nabi bertanya, ''Mengapa kau ada di sini padahal sekarang bukan waktu shalat?'' Abu Umamah menjawab, ''Aku sedih dan gundah karena banyak utang.''

Rasulullah kemudian berkata, ''Maukah aku ajarkan kalimat (doa) yang membuat Allah akan menghapuskan kesedihan dan melunasi utang-utangmu?'' ''Tentu,'' kata Abu Umamah.

Nabi menyarankan, ''Setiap pagi dan sore, ucapkanlah, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perasaan sedih dan gundah, sikap lemah dan malas, sikap pengecut dan bakhil, serta lilitan utang dan tekanan orang lain.''

Abu Umamah berkata, ''Aku lantas melakukan ajaran Nabi SAW, kemudian Allah menghapus kegundahanku dan melunasi utang-utangku.'' (HR Abu Daud). Melalui hadis di atas, sejatinya Nabi SAW sedang menyampaikan kiat-kiat kesuksesan. Walau redaksi hadis mengajarkan doa, makna yang terkandung memastikan keharusan bekerja untuk meraih kesuksesan.

Kita menemukan poin-poin berikut ini: ajaran memohon perlindungan dari kesedihan dan kegundahan (psikologis); kelemahan dan kemalasan (mental); sifat pengecut dan bakhil (sikap sosial); serta lilitan utang dan tekanan orang lain (sosial-politik).

Dalam teori motivasi apa pun, sasaran utama yang mesti diperbaiki adalah sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan. Ketidakberanian bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan di hadapan kondisi objektif adalah tanda sikap pengecut. Bagi pelaku bisnis seperti Abu Umamah, hampir tidak pernah bebas dari utang. Tetapi, utang haruslah rasional sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing.

Yang diajarkan oleh Nabi SAW di atas adalah berlindung dari lilitan utang (ghalabah al-dain) atau utang yang lebih besar dari kemampuan. Ketika utang lebih besar dari kemampuan dan yang bersangkutan tidak mampu membayar, pihak yang memberikan piutang akan menagih dan menekan dengan berbagai cara.

Dalam keadaan yang demikian, Rasulullah mengajak kita membangun jiwa yang ceria, mental yang kuat, keberanian, murah hati, serta bebas dari lilitan utang dan tekanan orang lain. Beliau juga menegaskan bahwa yang dibutuhkan untuk meraih hidup tenang dan bahagia adalah senantiasa bekerja keras dan berdoa.

Berdoa tanpa kerja adalah sikap manja yang tidak direstui oleh Islam. Kerja tanpa doa akan menjauhkan diri kita dari spiritualitas yang menenteramkan. Kerja dan doa adalah kunci meraih kesuksesan lahir dan batin.


Baca selanjutnya...

Sabtu, 13 Juni 2009

Pribadi Tawadhu'

Oleh Ziadi Thohir

''Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.'' (QS Annajm [53]: 32).

Di antara karakter positif orang beriman adalah tawadhu' (rendah hati). Ia tak menganggap dirinya hebat, dan memandang sebelah mata orang lain. Alquran mencela orang yang menganggap diri paling benar dan suci, orang lain salah dan berdosa.

Tawadhu' adalah amalan hati yang tecermin dalam perilaku sehari-hari. Pribadi tawadhu' tak mudah patah hati bila tak dipuji dan pandai memelihara hatinya.

Keberhasilan kerja baginya tidak dinilai dari pujian yang diterima dan penghargaan yang diraih. Ia akan terus bekerja, berkarya, dan tidak berhenti dengan atau tanpa hal itu.

Dia juga tidak menganggap dirinya paling berperan dalam suatu amal usaha. Bila ada orang memujinya paling berjasa dalam sebuah tim, ia menyebut itu semata-mata berkat kerja sama. Ia tak ingin menyakiti perasaan mitra kerjanya.

Sebaliknya, pribadi yang tinggi hati, lalu meremehkan orang lain berarti telah menyalahi hadis Rasul SAW, ''Sesungguhnya Allah mewahyukan padaku agar kalian saling menghargai sehingga seseorang tidak meremehkan dan menganiaya orang lain.'' (HR Muslim).

Jarang memberikan apresiasi terhadap karya orang lain, berarti sudah menjadi takabur. Demikian pula keengganan mengucapkan terima kasih. Ini berbeda dengan sifat tawadhu' yang mudah memberikan apresiasi dan tak segan berterima kasih.

Menjadi pribadi yang tawadhu' tidak akan menjadikan seseorang hina di mata orang lain. Allah SWT sendiri yang akan mengangkat derajatnya. Bisa saja saat ini kerja kerasnya tidak dihargai, lalu namanya tak banyak disebut orang.

Tapi, suatu saat bisa jadi namanya akan harum dan kebaikannya banyak dikenang. ''Tidaklah seorang itu bersikap tawadhu' kepada Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.'' (HR Muslim).

Pribadi tawadhu' memahami keutamaan ini, sehingga tidak perlu berkeras ingin dipuja dan dipuji. Ia meyakini mereka memiliki ke-tawadhu'-an. Allah SWT sendiri yang mengangkat nama mereka.

Apresiasi atau pujian dari orang lain bukanlah harga mati sebuah keberhasilan. Kerja dan karier tidak akan tamat tanpa keduanya. Pribadi yang tawadhu' tak akan jera mengukir prestasi, merajut mimpi, dan memancangkan asa demi kemuliaan hakiki, mendapat ridha Allah SWT.


Baca selanjutnya...

Jumat, 12 Juni 2009

Mental 'Memberi'

Oleh Yodi Indrayadi

''(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.'' (QS Ali Imran [3]: 134).

Dalam tafsirnya mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan salah satu sifat orang bertakwa yang mendapat ampunan dan surga dari Allah SWT adalah gemar bersedekah. Dalam kondisi apa pun, baik mudah maupun sulit, sehat maupun sakit, siang maupun malam, sendiri maupun di keramaian.

Yang menjadi pokok perhatian Islam sebetulnya bukan seberapa banyak seseorang bersedekah, melainkan sesering apa bersedekah. Bukan kuantitas, tapi kontinuitas dalam bersedekah. Islam mengendaki kita memiliki mentalitas memberi.

Atas dasar itulah, Rasulullah SAW memupuk mentalitas memberi pada diri para sahabatnya. ''Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.'' (HR Bukhari).


''Sedekah adalah bukti (keimanan).'' (HR Muslim). Begitu pula sabda berikut, ''Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dapat mendatangkan kebahagiaan, mengusir kesedihan, membebaskan utang, dan menghilangkan rasa lapar seorang Mukmin.'' (HR Ibnu Abi al-Dunya).

Di saat tak ada barang atau uang yang bisa disedekahkan, Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesempatan bersedekah masih tetap terbuka. ''Setiap kebajikan adalah sedekah.'' (HR Bukhari).

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda, ''Setiap Muslim hendaknya bersedekah.'' Para sahabat bertanya, ''Jika ia tidak punya sesuatu yang hendak disedahkan?''

Rasulullah SAW menjawab, ''Hendaknya ia bekerja yang mendatangkan manfaat bagi dirinya, lantas bersedekah.'' Mereka bertanya, ''Jika ia tidak mampu?''

Beliau menjawab, ''Menolong orang yang membutuhkan pertolongan.'' Mereka bertanya, ''Jika ia tidak mampu?'' Beliau menjawab, ''Memerintahkan yang baik.'' Mereka bertanya, ''Jika ia tidak mampu?'' Beliau menjawab, ''Menahan diri untuk tidak berbuat jahat. Itu adalah sedekahnya.'' (HR Bukhari).

Ibnu Hajar mengatakan bahwa sedekah tidak hanya bermakna 'memberikan harta', tapi lebih luas dari itu. Sedekah bisa juga berbentuk sumbangsih tenaga dan pikiran. Bahkan, membuang pikiran jahat di kepala pun merupakan sedekah.

Karena itu, kelebihan apa pun, baik berupa materi, tenaga maupun pikiran yang dimiliki seorang Muslim, hendaknya disedekahkan untuk mereka yang membutuhkan.

Jika setiap Muslim memahami ini dengan baik, kita tentu tidak akan lagi menyaksikan orang-orang miskin yang menjerit, balita yang menderita gizi buruk, anak-anak putus sekolah yang telantar, dan pemandangan miris lainnya.


Baca selanjutnya...

Kamis, 11 Juni 2009

Mestakung dan Pertolongan Allah

Oleh Lukman Solihin

Dalam kondisi kesusahan, di manakah sebetulnya letak pertolongan Allah SWT? Sebagai manusia, kita tak mampu menjawabnya secara jelas dan pasti.

Akan tetapi, Alquran telah memberikan penjelasan mengenai hal ini bahwa Allah SWT akan senantiasa menolong hamba-Nya. Dalam surat Albaqarah [2] ayat 214, Allah SWT berfirman, ''Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.''

Sebuah konsep dikemukakan oleh Prof Yohanes Surya untuk menjelaskan keberhasilan manusia melampaui cobaan hidup, yaitu mestakung, akronim dari semesta mendukung.

Melalui konsep yang diadopsi dari ilmu fisika ini, Yohanes Surya ingin menjelaskan bahwa dalam setiap kondisi kritis, seorang insan mampu melampaui cobaan hidup yang mungkin tidak dapat dilalui dalam kondisi normal.

Dalam kondisi kritis; sikap, mental, dan tindakan manusia kerap kali ditekan untuk mencapai batas maksimal. Di sinilah dorongan insani, alam, serta lingkungan sosial seolah-olah saling terkait untuk membantu memantapkan keberhasilan yang ingin diraih tersebut.

Islam sebetulnya telah mengajarkan kita untuk mampu menghadapi cobaan hidup dengan senantiasa bersabar, berdoa, dan berusaha. Melalui tiga hal itulah sebetulnya mestakung itu muncul, yaitu pertolongan dari Allah SWT.

Dalam menjalani cobaan, selain sifat sabar, doa dan berusaha adalah sisi lain yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Dalam doa, terdapat sikap penyerahan diri, mengakui kelemahan kita sebagai individu, serta berharap pertolongan besar dari Allah SWT.

Secara tersirat, Allah SWT telah memberikan jaminan. Jaminan itu bahwa mereka yang memohon pertolongan kepada-Nya niscaya akan dikabulkan, seperti digambarkan dalam QS Arra'du [13] ayat 31.

Selain berdoa, manusia juga wajib untuk berusaha. Sebab, Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka melakukan perubahan terhadap keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Ini seperti yang ditegaskan Allah SWT dalam QS Arra'du [13] ayat 11.

Di sinilah, kita bisa melihat bahwa mestakung atau pertolongan Allah SWT itu tidak akan muncul secara tiba-tiba. Berdoa tidak hanya mengandung sikap penyerahan diri yang sempit, yang berarti tanpa daya dan upaya.

Dengan berdoa, seorang insan sebetulnya sedang memanjangkan harapan, menghidupkan motivasi dan kepercayaan diri, serta memantapkan niat untuk menjalani kehidupan. Sebab, di dalam doa dan usaha terkandung janji pertolongan Allah SWT.


Baca selanjutnya...

Rabu, 10 Juni 2009

Momentum Spiritual

Oleh Nawawi Efendi

Seluruh ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan haji yang telah Allah SWT tentukan waktu-waktu pelaksanaannya adalah momentum spiritual yang seharusnya dimaksimalkan seorang Muslim.

''Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam'.'' (QS Al-An'am [6]: 162). Namun, untuk mengingat Allah SWT, seorang Muslim tidak perlu menunggu waktu-waktu tertentu itu. Karena pada hakikatnya, seluruh waktu yang telah Allah SWT karuniakan dalam hidup ini adalah momentum spesial.

Seorang Muslim mengekspresikan pengabdian kepada-Nya, sesuai profesi dan bidang pekerjaan yang dikuasai. Apa pun profesinya, kita bisa menjadikan profesi itu sebagai sarana beribadah dan menjalankan tugas sebagai khalifah Allah SWT.


Tentunya, harus dilandasi keikhlasan dan sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar semua waktu yang dilalui menjadi momentum spiritual untuk mengabdi kepada-Nya.

''Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.'' (QS Al-Ashr [103]: 1-3).

Iman akan menjadikan seseorang semakin sadar tentang tujuan utama dari segala aktivitasnya. Amal saleh akan membentenginya dari perbuatan sia-sia dan maksiat. Nasihat pada kebenaran dan kesabaran akan meneguhkan diri, sehingga tidak mudah putus asa ketika usahanya gagal.

Tidak sepatutnya seorang Muslim menyia-nyiakan waktunya. Karena sedetik saja dalam hidup ini, kalau digunakan untuk berzikir, akan menjadi modal utama untuk keselamatan di akhirat kelak.

Sebaliknya, waktu-waktu yang tidak diisi dengan mengingat Allah SWT, dapat menjadi kerugian besar bagi seseorang ketika saat berada di akhirat kelak. Ia akan berandai-andai untuk kembali lagi ke dunia untuk beribadah kepada Allah SWT dengan penuh kesungguhan.

Sebagaimana firman Allah SWT, ''Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan'.

Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.'' (QS Faathir [35]: 37).


Baca selanjutnya...

Selasa, 09 Juni 2009

Mawas Diri

Oleh Reti Riseti

''Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.'' (QS Alhasyr [59]: 19).Setiap orang pasti menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di akhirat kelak. Untuk itu, Allah SWT mengingatkan manusia untuk muhasabah.

Inti muhasabah adalah introspeksi, mawas diri, melihat, memeriksa, melakukan perhitungan, dan mengoreksi diri sendiri secara jujur. Mawas diri merefleksikan kesadaran akan esensi diri yang tidak sempurna serta eksistensinya di dunia yang sementara.Sedangkan diri abadi adalah diri yang berada dalam kehidupan akhirat, yaitu kehidupan di masa depan sekaligus hari esok sebagai tujuan akhir perjalanan kehidupan manusia di dunia.

Mawas diri juga menggambarkan kesadaran akan pentingnya membawa bekal dalam perjalanan kehidupan agar sampai akhir tujuan dengan selamat dan bahagia. Bekal yang baik adalah amal saleh yang melahirkan keridhaan-Nya dan terbebasnya dari dosa yang dapat menyelamatkan dari murka-Nya.


Memerhatikan bekal artinya sadar untuk menimbang dengan cermat amal saleh pribadi yang telah dilakukan untuk mendatangkan keridhaan-Nya. Menyadari dan menghitung dosa-dosa yang telah dilakukan, yang boleh jadi akan jadi penghalang mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak.

Pertimbangan dan perhitungan yang cermat akan melahirkan rasa syukur bila telah melakukan amal saleh dan terdorong kembali melakukan amal saleh yang lain. Sedangkan kesadaran akan dosa yang telah diperbuat akan melahirkan tobat, upaya pembersihan diri, dan selanjutnya melakukan perbaikan perilaku (ishlah).

Sikap cermat, hati-hati, mawas diri, dan motivasi untuk selalu berupaya melakukan berbagai amal kebaikan dan menghindar dari perbuatan dosa, lahir dari ketakwaan kepada Allah SWT. Sementara sikap abadi dan pembangkangan pada Allah SWT pada hakikatnya menggambarkan tercerabutnya kesadaran mawas diri, yang pada gilirannya akan mengarahkan pada perbuatan dosa yang mencelakakan diri sendiri.

Seseorang perlu mengingatkan dirinya bahwa amal kebaikan yang telah dilakukan, semata atas petunjuk dan kasih sayang-Nya. Karena itu, pada dasarnya tidak ada prestasi pribadi. Dan pada hakikatnya, seorang yang mawas diri adalah yang mampu menempatkan diri secara proporsional di alam jagat raya ini.


Baca selanjutnya...

Kecerdasan Qalbiah

Oleh Ali Rif'an

''Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, seluruh tubuh menjadi baik. Tapi, bila rusak, semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.'' (HR Al-Bukhari dari Nu'man ibn Basyir).

Kalbu merupakan materi organik (al'adhuw ai'mady) yang memiliki sistem kognisi (jibaz idraky ma'ripiy) dan mengandung emosi (al-syu'ur). Al-Ghazali mendefinisikan kalbu menjadi dua.

Pertama, kalbu jasmani, yaitu daging sanubari yang terletak di dada sebelah kiri atau disebut jantung (heart). Kedua, kalbu rohani, yaitu sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ryhani.

Kalbu jasmani berfungsi mengatur peredaran darah serta segala perangkat tubuh manusia. Sementara, kalbu rohani berperan sebagai pemandu dan pengendali struktur jiwa (nafs). Bila kedua kalbu ini berfungsi normal dan baik, kehidupan manusia akan baik dan berjalan sesuai fitrahnya.


Lantas, bagaimana kecerdasan qalbiah itu bisa hadir? Kecerdasan qalbiah akan hadir tatkala seseorang berperilaku qalbiah, yaitu senantiasa merasakan kehadiran Allah SWT dalam setiap tindakan, kapan pun dan di mana pun. Perilaku qalbiah akan timbul manakala kita selalu mengingat Allah (zikrullah).

''Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.'' (QS Al-Ahzab [33]: 41).

Seseorang yang selalu mengingat-Nya, hatinya akan merasa tenang dan tenteram meski diimpit segala macam persoalan. ''(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.'' (QS Arra'd [13]: 28).

Orang yang senantiasa berzikir juga akan selalu diingat Allah SWT. ''Ingatlah kalian kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian.'' (QS Albaqarah [2]: 150).

Bila seseorang telah diingat Allah SWT, hatinya akan bersih dan selalu dijaga dari perbuatan keji dan mungkar. Di sinilah, pengelolaan dan pemeliharaan kalbu dan perilaku qalbiah yang termanifestasi dalam bentuk zikir, akan membawa manusia pada kecerdasan qalbiah. Sehingga, dengan mudah menyerap segala bentuk kebenaran yang datang dari Allah SWT.

Kecerdasan qalbiah ini akan pula menjadi pengendali dan pemegang komando terhadap setiap perilaku manusia yang terdiri atas empat sifat. Seperti, sifat bahimiah (syahwat), sabu'iyyah (amarah), syaitiniyah (hasud, dengki, dan iri hati), dan rabbaniyah (unsur sifat Ilahi).


Baca selanjutnya...

Senin, 08 Juni 2009

Berbuat Baik dan Terbaik

Oleh A Ilyas Ismail

Islam memiliki doktrin yang menyuruh kita agar berbuat baik dan terbaik, yakni ihsan. Kata 'ihsan' berakar dari kata ahsana, yuhsinu, ihsan , yang secara bahasa bermakna kebaikan yang diperoleh melalui ilmu dan amal.

Dalam konteks ini, Umar ibn al-Khathab pernah berkata, '' Al-Nas abna'u ma yuhsinun ,'' manusia adalah anak dari kebaikan yang dilakukan. Maksudnya, kita dinamakan manusia manakala kita mengerti kebaikan dan melakukannya dalam kehidupan.

Manusia harus berbuat baik dan terbaik setidak-tidaknya karena tiga alasan. Pertama, manusia adalah makhluk terbaik (QS Attiin [95]: 4) dan tertinggi dalam arti dilebihkan atas makhluk-makhluk yang lain (QS Al-Isra [17]: 70).

Kedua, manusia diperintahkan agar berbuat baik sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik kepada mereka (QS Alqashash [28]: 77). Ketiga, manusia disuruh berlomba-lomba dalam kebaikan ( fastabiq al-khirat ) dan menciptakan kompetisi untuk memastikan siapa yang terbaik di antara mereka. ''Dialah Allah, Tuhan yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.''(QS Almulk [67]:2).

Ihsan sebagai doktrin yang mengharuskan kita agar berbuat baik dan terbaik sejatinya mencakup tiga dimensi. Pertama, ihsan kepada Tuhan (vertikal). Ihsan dalam arti ini diwujudkan dengan melakukan ibadah kepada Allah SWT sebaik mungkin dan sesuai perintah Nabi, ''Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Sekiranya kamu tidak dapat melihat-Nya, sadarilah bahwa Allah pasti melihatmu.'' (HR Muslim).

Kedua, ihsan kepada sesama manusia (horizontal). Ihsan dalam arti ini, menurut pakar tafsir al-Ishfahani, bermakna al-in'am `ala al-ghair , yaitu berbagi kenikmatan atau kebaikan kepada orang lain mulai dari menyambung tali persaudaraan, silaturahim, memberikan maaf, hingga memperbanyak donasi (sedekah).

Ketiga, ihsan kepada diri sendiri (profesional). Hal ini mengharuskan kita untuk bekerja secara profesional dalam arti bekerja sebaik mungkin dan dengan kualitas tertinggi serta menghindarkan diri dari kebiasaan buruk, yaitu bekerja asal jadi atau sekenanya.

Adapun kinerja (performa) dengan kualitas ihsan itu dapat diupayakan melalui lima syarat, yaitu keyakinan ( belief ), pengetahuan ( knowledge ), keterampilan ( skill ), disiplin, dan amanah ( trust ).

Allah SWT sangat menghargai orang-orang yang mampu berbuat ihsan ( muhsinin ). Tidak kurang dari 15 kali dalam Alquran, Allah SWT menyatakan cinta-Nya kepada mereka. Semoga kita bisa berbuat baik dan terbaik.


Baca selanjutnya...

Jumat, 05 Juni 2009

Pidato Politik Calon Pemimpin

Oleh Taufik Damas

Dalam Tarikh al-Khulafa' , Imam Suyuthi mengungkap tiga model pidato politik dalam sejarah Islam. Pidato itu disampaikan tiga tokoh politik dalam rentang waktu berdekatan. Tapi, isi tiga pidato itu memiliki tekanan makna yang berbeda.

Pada tahun 20 H, Umar bin Khathab menyampaikan pidato politik di atas mimbar di Madinah. Ketika ia sedang berbicara, seorang Badui berteriak, ''Demi Allah. Jika kau melakukan penyimpangan, kami akan meluruskanmu dengan pedang!''

Mendengar ucapan orang Badui itu, Umar lantas mengucapkan kata-kata terkenal. ''Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan orang yang akan meluruskan Umar dalam masyarakat.''Pada tahun 45 H, Muawiyah menyampaikan pidato politik. Di tengah pidato, ada yang menyela, ''Demi Allah. Jika kau melakukan penyimpangan, kami akan meluruskanmu.''Muawiyah bertanya kepada orang itu, ''Dengan apa?''
Ia menjawab, ''Dengan kayu.''

'Kalau begitu, kami akan bersikap lurus,'' kata Muawiyah.Pada tahun 75 H, Abdul Malik bin Marwan menyampaikan pidato politik di Madinah. Abdul Malik berkata, ''Demi Allah. Jangan ada orang yang berani menasihatiku untuk bertakwa kepada Allah. Jika ada yang berani, aku akan memenggal lehernya!'' Kemudian ia turun dari mimbar.

Tiga model pidato politik ini mengandung semangat berbeda. Pidato Umar didasari ketulusan dan kejujuran. Ini terbukti gaya kepemimpinannya yang sangat adil dan bijaksana. Umar adalah sosok yang tegas dan berani, sehingga diberi gelar al-faruq (sang pembeda yang hak dan batil).

Sedangkan pidato Muawiyah hanya retorika. Tak ada ketulusan dalam pidato itu. Apa yang disampaikan tidak benar-benar akan dilakukan. Dialog antara Muawiyah dan orang yang menyela pidatonya hanya sandiwara. Memakai istilah politik saat ini, yang dilakukan Muawiyah hanya demokrasi prosedural.

Pidato politik ketiga memiliki ketegasan dan kejelasan yang sama dengan pidato pertama. Tapi, memiliki semangat yang sangat berbeda. Ketegasan pidato ketiga justru didorong otoritarianisme yang tidak menerima kritikan orang lain. Sekadar mengingatkan untuk bertakwa, orang diganjar dengan pedang.

Menjelang pemilu presiden, kita sering mendengar pidato politik melalui berbagai media massa. Kita berharap pidato politik yang disampaikan para politikus itu merujuk kepada kejujuran dan ketulusan Umar bin Khathab.''Ada tiga kelompok orang yang pasti masuk surga: penguasa yang adil, jujur, dan konsisten.'' (HR Muslim).

Dalam dinamika politik Indonesia saat ini, umat Muslim harus memiliki kecerdasan dan keberanian politik untuk mengontrol sikap para politikus. ''Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang lalim,'' begitu sabda Nabi SAW dalam Sunan Abu Dawud .
Baca selanjutnya...

Kamis, 04 Juni 2009

Bersabar

Oleh Fuad Hasan

Dalam kehidupan sehari-hari yang dibutuhkan manusia dalam menjalankan segala perintah, baik yang bersumber dari Allah SWT, manusia, atau dari diri kita sendiri, adalah perlu adanya sifat ridha atau ikhlas disertai sabar.

Sabar merupakan kunci kesuksesan, sehingga Muhammad Idris al-Junaidi berkata, ''Sabar merupakan jalan yang menunjukkan kelulusan.''Sabar tidak harus menunggu tanpa gerakan (no action ). Tetapi, sabar berarti suatu sikap betah atau dapat menahan diri pada kesulitan ( musykilat ) yang dihadapinya.Kendati begitu, tidak berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa upaya melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi.

Maka, tepatnya sabar adalah sikap yang diawali dengan ikhtiar, lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas. Jika kesabaran dibatasi, manusia tidak akan bisa untuk membatasinya. Semakin tinggi keimanan seseorang kepada Allah SWT, maka akan lebih tinggi pula sifat sabar mereka.Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa yang bersabar, maka ia diberi kekuatan sabar oleh Allah SWT. Seseorang akan diberi kebaikan oleh Allah SWT dan kelapangan hidup karena ia telah bersabar.'' (HR Bukhari Muslim).

Dengan bersabar kehidupan kita akan selalu merasa tenteram, mempunyai cita-cita besar, yang menciptakan kembalinya semangat hidup dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan sebagai manusia.Karena itu, sabar mengandung nilai suatu identitas baik sebagai kepribadian manusia. Sabar sangat tepat bila dikontekskan dengan semangat hidup.

Lebih tepatnya lagi, sabar dalam berusaha, bukan sabar hidup dalam penderitaan, keputusasaan, bukan pula dalam kebodohan. Namun, konteks sabar yang sesungguhnya adalah sabar dalam rangka belajar dengan sungguh-sungguh, sabar dalam berusaha (ikhtiar), sabar dalam melaksanakan tugas.

Jika kita telah terbiasa bersifat sabar, Allah SWT akan selalu menyertai dalam setiap gerak langkah kita, bahkan setiap embusan napas kita. Allah SWT berfirman ''Sesungguhnya Allah selalu menyertai arang-orang yang sabar.'' (QS Albaqarah [2]: 156). Sifat ini mampu menciptakan manusia selalu merasa dekat dengan Tuhannya. Oleh karenanya, segala perasaan atau perbuatan yang ada pada diri kita, senantiasa diawasi oleh Allah SWT.

Maka kesungguhan, etos kerja, semangat hidup, mengumpulkan harta untuk bersedekah, akan terasa ringan karena setiap gerak langkahnya selalu dilihat dan diridhai Allah SWT.


Baca selanjutnya...

Rabu, 03 Juni 2009

Mujahadah Plus

Oleh Imam Taufik Al Khatab

Dalam Islam, aktivitas kerja yang disertai kesungguh-sungguhan dikenal dengan istilah mujahadah . Sifat-sifat mujahadah ini mencakup setiap kinerja yang mengandalkan manajemen dan perangkat-perangkat pendukung lainnya.Namun seringkali, dalam mengusahakan sebuah cita-cita, kita menjadi terperangkap dalam rutinitas upaya dan kerja keras yang hampa akan tujuan hakiki. Kalaupun ditetapkan target dan tujuan, seringkali tidak ada hubungan sama sekali dengan sang pembuat cita-cita itu sendiri.

Inilah justru yang tak dikehendaki dalam Islam. Syarat keberhasilan lahir dan batin dalam Islam sejatinya bisa dirumuskan dari firman Allah SWT berikut, ''Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.'' (QS Al-Ankabut [29]: 69).Ayat ini tidak berbicara aktivitas jihad dalam konteks qital (berperang). Hal itu dikuatkan oleh Al-Imam As Syaukani bahwa ayat ini lebih menjelaskan aktivitas jihad dengan makna umum karena turun pada fase Makkiyah.

Dengan bahasa yang jelas dan tegas, ayat ini mensyaratkan terbukanya berbagai jalan keluar atau terbukanya jalan menuju tujuan bila mencakup dua hal. Pertama, dilakukan dengan kesungguhan. Kedua, aktivitas itu harus berada di jalan Allah SWT, dan dengan sendirinya mengharapkan ridha-Nya. (Fathul Qadhr, jilid IV, hal 266).


Segala aktivitas yang memiliki prasyarat tersebut, akan Allah SWT tunjukkan jalan-jalan menuju tujuan yang dikehendaki. Namun, disadari atau tidak, serigkali aktivitas kita hanya memenuhi syarat pertama, bahkan maksimalisasi usaha habis-habisan dikerahkan untuk porsi itu.Kita lengah dalam mengevaluasi, apakah aktivitas kita benar-benar memiliki visi dan misi yang bersifat Ilahiyah, ataukah hanya sekadar untuk urusan duniawi semata. Bahkan, sekecil apa pun urusan duniawi yang kita lakukan, sesungguhnya Islam tak pernah melepaskannya dengan nilai-nilai Ilahiyah.

Terlebih untuk sebuah kerja besar. Artinya, Islam sama sekali tidak mengenal dikotomi antara urusan duniawi dan ukhrawi. Islam mengajak kita untuk tidak hanya berusaha semaksimal mungkin dalam bekerja, tetapi juga meniatkan diri bahwa aktivitas kita ini benar-benar berada di jalan Allah SWT dan untuk keridhaan-Nya.Bila faktanya ada manusia yang sukses tanpa disertai visi dan misi berbasis keilahiyahan, ketahuilah bahwa kesuksesan itu hanya fatamorgana semata. Di sisi Allah SWT, ia belum bernilai apa-apa.

Baca selanjutnya...

Selasa, 02 Juni 2009

Memperbarui Iman

Oleh Arif Rahman Hakim

Para ulama (dari generasi sahabat dan setelahnya) berkata, iman itu bertambah dan berkurang. Berangkat dari alasan teologis ini, maka setiap orang beriman wajib memperbarui imannya, agar ketika iman itu berada di titik kulminasi terendah, ia tidak terus berkurang sampai akhirnya menghilang.

Layaknya memperbarui bangunan, memperbarui iman juga bukan berarti membuang yang lama dan menggantinya dengan yang baru, melainkan memperbaiki yang sudah rusak dan menambah yang sudah hilang, sehingga menjadi baru kembali.Cara paling efektif memperbarui iman adalah dengan thalabul ilmi. Dengan mencari ilmu, keimanan bisa terus bertambah, ilmu apa pun itu. Karena Islam tidak mengenal dikotomi ilmu (ilmu agama dan ilmu nonagama). Itulah mengapa mencari ilmu diwajibkan dalam Islam, karena dengan ilmu, iman seseorang bisa bertambah dan terjaga kestabilannya.

Semua ilmu pada titik ujungnya akan mengarah pada kemahakuasaan Allah SWT, kemahaperkasaan Allah SWT, kemahabijaksanaan-Nya, dan sifat-sifat maha lainnya yang Allah SWT miliki. Jika demikian, semakin banyak ilmu yang dimiliki seseorang, semakin besar pula rasa takut kepada Allah SWT.Namun, dari sekian banyaknya ilmu, ada ilmu yang paling utama di sisi Allah SWT, karena ilmu itu langsung menceritakan tentang Allah SWT, tentang malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hukum-Nya, dan hal lain yang berkaitan dengan-Nya.


Bahkan, ilmu tersebut merupakan firman-Nya sendiri, perkataan-Nya, dan ucapan-Nya. Ilmu itu tiada lain adalah Alquran. Karenanya, Rasulullah SAW bersabda, ''Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.'' (HR Al-Bukhari). Banyak cara untuk mencari 'ilmu Alquran', apalagi di zaman modern ini teknologi komunikasi sudah semakin canggih. Bisa dengan cara membaca buku, internet, mendengarkan radio, menonton televisi, dan lainnya.

Akan tetapi, di antara cara-cara itu, ada satu yang sangat dicintai Allah SWT, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. ''Setiap kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) membaca kitab Allah (Alquran) dan mempelajarinya, pasti akan turun kepada mereka ketenangan, dan dikelilingi oleh para malaikat yang menyebut-nyebut mereka di sisi Allah.'' (HR Muslim).

Dengan demikian, cara mencari ilmu Alquran yang paling utama dan paling dicintai Allah SWT adalah dengan bersama-sama di dalam masjid melalui pengajian. Karenanya, menghadiri pengajian di masjid lebih utama, meski cara lainnya juga sama-sama menghasilkan ilmu dan pengetahuan untuk memperbarui keimanan.


Baca selanjutnya...