Selasa, 30 Juni 2009

Memilih Orang yang Tepat

Oleh Anang Rikza Masyhadi

Dalam suatu majelis, terjadi dialog antara Rasulullah SAW dengan para sahabat. Rasulullah SAW menyampaikan, ''Jika amanah telah hilang (tidak dipegang lagi dengan teguh), tunggulah saat kehancurannya.''Sahabat bertanya, ''Ya Rasul, bagaimana seseorang bisa menghilangkan amanah itu?'' Rasul SAW menjawab, ''Bila suatu urusan (amanah) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.'' (HR Bukhari).

Hadis Rasulullah SAW itu menengarai hilangnya amanah, terutama disebabkan suatu urusan yang dipegang, ditangani atau dikelola oleh yang bukan ahlinya, yaitu yang tidak mengenal dan menguasai bidang pekerjaannya. Dalam sistem ajaran Islam, ini masalah fundamental, karena amanah menyangkut urusan dan nasib orang banyak.

Dalam manajemen modern, hadis Nabi SAW tadi mendorong kaum Muslimin agar dalam mengelola sesuatu, berorientasi pada asas profesionalitas. Ketika adagium Inggris mengisyaratkan perlunya the right man, in the right place, in the right time, sesungguhnya Islam telah jauh lebih dini menggariskannya, 14 abad yang lalu.

Persoalannya, di lapangan sering terjadi orang yang sebetulnya tepat mengemban amanah, justru tak dipilih dan dipercaya masyarakat. Dalam memilih dan menentukan orang untuk suatu urusan tertentu, nalar dan objektivitas kita justru sering digadaikan untuk mengabdi pada kepentingan jangka pendek. Ini biasanya lebih karena faktor-faktof askriptif, yaitu faktor kenisbatan. Misalnya, karena yang mau dipilih itu masih ada hubungan famili, satu suku, tetangga sekampung, satu almamater, sama-sama satu ormas atau satu partai.

Pada saat yang sama, faktor kompetensi, yaitu kecakapan, kemampuan, dan kejujuran, menjadi terabaikan. Islam mewajibkan kita agar dapat menciptakan dan membuka peluang hanya kepada mereka yang kompeten, kapabel, dan kredibel. ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.'' (QS Annisaa [4]: 58).

''Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Almaidah [5]: 8).

Kaum Muslimin Indonesia harus bersatu membuat barisan yang kokoh untuk memilih orang-orang yang diyakini mampu mengurus 220 juta manusia, dari Sabang sampai Merauke. Inilah kesempatan emas kita mengubah nasib bangsa sebagaimana diwasiatkan Alquran (QS ar Ra'd [13]: 11) agar menjadi lebih sejahtera.


Baca selanjutnya...

Rabu, 24 Juni 2009

Berdebat

Oleh Darul Qotni Abbas

Secara terminologi, debat (al-jadal atau al-jidal) identik dengan dialog atau berbincang (at-tahawur). Berdebat identik dengan mempertahankan kebenaran yang dipahami, diyakini, dan diklaim sebagai dasar manusia berpijak dalam jalan kehidupannya.

Mempertahankan pendapat yang argumentatif, rasional, dan dapat dipahami dengan tetap berpegang pada etika berdebat, adalah mutlak harus dilakukan. Di musim kampanye pemilihan presiden kali ini, acara debat seolah menjadi acara wajib yang disuguhkan kepada publik.

Namun, perlu diingat bahwa dalam berdebat, ada asas-asas syariat yang perlu ditaati, semisal, jangan mencaci, menghina, membuka aib, dan kritik-destruktif.

Debat pada dasarnya adalah menyampaikan hujjah atau yang diduga sebagai hujjah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya adalah untuk membela pendapatnya atau mazhabnya, membatalkan hujjah lawannya, serta mengalihkannya pada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.

Debat adalah perkara yang diperintahkan syariat untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang bathil. Dalilnya, antara lain, adalah firman Allah SWT, ''Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.'' (QS Annahl [16]: 125).

Rasulullah SAW juga sering mendebat kaum musyrik Makkah, Nasrani Najran, dan Yahudi Madinah. Pengembang dakwah akan senantiasa menyerukan Islam, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan memerangi pemikiran yang sesat.

Karena debat telah ditentukan sebagai cara (uslub) untuk melakukan semua aktivitas tersebut, maka debat menjadi suatu kewajiban, sesuai dengan kaidah fikih. Namun demikian, ada satu jenis perdebatan yang dicela oleh syariat, bahkan dianggap sebagai bentuk kekufuran. Ini ketika mendebat Allah SWT dan ayat-ayat-Nya.

Allah SWT berfirman, ''Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar, akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).'' (QS Arra'd [13]: 1).

Berdebat tentang Alquran untuk menetapkan bahwa Alquran bukanlah mukjizat atau bukan berasal dari Allah SWT, juga merupakan suatu kekufuran. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah, pernah bersabda, ''Berdebat tentang Alquran adalah kekufuran.'' (HR Ahmad).

Semoga kita terhindar dari perdebatan yang membawa pada kekufuran. Sebaliknya, melakukan debat untuk menyingkap kebenaran serta mempertebal keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.


Baca selanjutnya...

Selasa, 23 Juni 2009

Narsisisme dan Ekshibisionisme

Oleh Lukman Solihin

Perkembangan teknologi telah membawa pengaruh besar bagi kehidupan umat. Teknologi memberikan kemudahan berbagai aktivitas positif, tapi juga bisa menjadi perantara terciptanya perilaku menyimpang yang negatif.

Pengaruh negatif tampak pada menguatnya gejala narsisisme dan ekshibisionisme yang makin marak. Narsisisme adalah kecenderungan suka mempertunjukkan kelebihan diri. Sedangkan ekshibisionisme adalah dorongan psikologis untuk memperlihatkan hal-hal atau tindakan yang tak senonoh.

Telepon genggam berkamera kerap disalahgunakan sebagai alat untuk merekam kelebihan diri (ketampanan atau kecantikan) hingga mempertunjukkan bagian-bagian tubuh yang haram dilihat oleh bukan muhrimnya. Tak jarang foto atau video porno direkam dan disebarkan melalui telepon.

Perkembangan jejaring sosial dunia maya juga telah memerantarai individu Muslim 'unjuk gigi'. Situs-situs jejaring sosial seolah memberikan ruang lapang untuk bersikap narsis, bahkan mempertontonkan hal-hal yang bersifat ekshibisionistis.

Perkembangan ini tentu saja memprihatinkan, karena perangkat teknologi yang ada tidak digunakan sebagaimana tuntunan Allah SWT. Allah SWT tidak melarang mencintai diri sendiri.

Sebab, setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk mempertebal rasa percaya diri dan rasa syukur kepada Allah SWT, manusia dianjurkan untuk melihat karunia yang dilimpahkan Allah SWT.

Hanya saja, mencintai diri sendiri tak berarti harus menunjukkan kelebihan diri di hadapan umum. Sikap narsis adalah gejala membanggakan kelebihan dan keunggulan diri, sehingga dapat menimbulkan sifat sombong dan takabur.

Sifat sombong inilah yang dibenci Allah SWT. ''Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.'' (QS Luqman [31]: 18).

Sementara seorang ekshibisionis adalah yang suka mempertontonkan auratnya. Memperlihatkan aurat dilarang karena dapat mendekatkan seseorang kepada perbuatan zina. Setiap Muslim juga diingatkan untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluannya.

''Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.'' (QS Annuur [24]: 30).

Di sinilah kita perlu arif memaknai perangkat teknologi. Setiap perangkat teknologi komunikasi dan informasi hampir selalu menganut diktum yang sudah lama kita kenal, man behind the gun, yaitu bergantung pada siapa dan untuk apa perangkat teknologi itu digunakan. Apakah demi kebaikan, atau sebaliknya untuk kemungkaran.


Baca selanjutnya...

Senin, 22 Juni 2009

Pribadi Zuhud

Oleh Muhtadi Abdul Mun'im

Pribadi seperti apakah yang disenangi Allah SWT dan manusia? Pertanyaan semacam ini pernah disampaikan seseorang kepada Rasulullah SAW dalam sebuah hadis riwayat Sahl bin Sa'd as-Sa'idi.

Saat itu, Nabi SAW menjawab, ''Bersikap zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah akan mencintaimu. Dan, bersikap zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia niscaya manusia akan menyukaimu.'' (HR Ibnu Majah).

Sabda Nabi SAW di atas punya dua kalimat kunci. Pertama, 'zuhud terhadap dunia' menunjukkan bahwa dunia adalah jembatan yang mengantarkan seseorang pada tujuan akhirat. Orientasi akhirat merupakan bentuk kebebasan spiritual yang melepaskan diri dari belenggu keduniawian.

Meskipun lebih dikenal sebagai sikap yang berorientasi pada akhirat, zuhud bukan berarti sikap melupakan kehidupan dunia atau mengabaikannya. (QS Alqashash [28]: 77).Zuhud bukan antidunia, menjauhi dunia, atau memilih untuk hidup sengsara. Justru, zuhud membangun optimisme dengan meletakkan harapan pada ke-Mahakuasa-an Allah SWT.

Kedua, 'zuhud terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain' merupakan bentuk sikap mandiri, sederhana, dan empati. Dengan zuhud, orang tak silau gemerlap harta orang lain.Orang tak terobsesi jabatan orang lain. Segala yang dimiliki orang lain bukan perhatian utama. Malah, zuhud mengalihkan perhatian dari 'apa yang dimiliki orang' pada 'orang yang tidak memiliki apa-apa'.

Di antara sumber masalah kemanusiaan, salah satunya berasal dari kecintaan berlebih terhadap dunia dan keinginan menguasai apa yang dimiliki orang lain.Sebut saja korupsi, kerusakan lingkungan, degradasi moral, dan narkoba merupakan turunan dari kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Perselingkuhan, konflik, dan kekerasan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kerakusan dan ambisi menguasai hak orang lain.

Zuhud akan mengembalikan pusat kehidupan manusia dari egosentris ke teosentris. Kehidupan yang berpusat pada egosentris melahirkan sikap mementingkan diri sendiri, cinta dunia, rakus, kikir, serta tidak peduli pada lingkungan dan manusia di sekelilingnya.

Pada gilirannya, egosentris (atau antizuhud) menjadi salah satu sumber petaka kemanusiaan, baik itu sifatnya pribadi maupun melebar ke masyarakat luas. Dengan zuhud, manusia diharapkan tidak lagi mementingkan diri sendiri. Zuhud melahirkan paradigma teosentris yang menegaskan fungsi khalifatullah sebagai bagian dari misi suci.

Misi ketuhanan ini diimplementasikan pada perilaku yang peduli terhadap masalah kemanusiaan. Orang yang berpribadi zuhud semacam ini tentu saja dicintai Allah SWT, penghuni langit dan bumi.


Baca selanjutnya...

Kamis, 18 Juni 2009

Keistimewaan Wanita

Oleh Rahmat HM

Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, ''Berwasiat baiklah kamu terhadap wanita, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Maka, kalau kamu meluruskannya dengan kekerasan/paksa, pasti dia patah, dan jika kamu biarkan, dia tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiat baiklah kamu terhadap wanita.'' (HR Muttafaq Alaih-Riyadlus Shalihin, 148).

Di muka bumi ini, tidak ada agama yang sangat memerhatikan dan mengangkat martabat kaum wanita selain Islam. Islam memuliakan wanita dari sejak ia dilahirkan hingga meninggal dunia.Di dalam Alquran, Allah SWT telah memberikan perhatian yang sangat khusus kepada kaum wanita. Terbukti dalam Alquran terdapat surah An-Nisaa (perempuan/wanita).

Ada beberapa hal yang mendorong mengapa wanita selalu menjadi sangat diperhatikan. Yang pertama, jumlah kaum wanita jauh lebih banyak dari kaum pria. Perbandingannya adalah 1:4 (surah An Nisaa [4] ayat 37).Selanjutnya yang kedua, wanita adalah tiang negara. Artinya, tegak atau runtuhnya negara akan sangat bergantung pada kaum wanitanya. Bila kaum wanitanya sholihah (baik), negaranya pun baik. Sebaliknya bila kaum wanitanya thalihah (jelek), negara bisa runtuh.

Wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak maka akan rusak pulalah generasi tersebut. Oleh karena itu, Islam meletakkan wanita pada tempatnya, melindungi dan menghargai wanita. Wanita mempunyai nilai dan fungsi yang tinggi dalam pandangan Allah bila mereka konsisten memegang ajaran dan tuntunan Islam.

Bahwa Allah telah menciptakan laki-laki dan wanita dari asal yang sama seperti termaktub dalam firman Allah: ''Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.'' (QS Annisa [4]: 1). Laki-laki dan wanita disamakan haknya untuk mendapat balasan dari Allah berdasarkan amalnya. ''Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.'' (QS Annisa [4]: 124). Sehingga, tidak ada alasan untuk merasa rendah menjadi seorang wanita, karena kedudukan utama yang diberikan Islam kepada wanita mukminah.


Baca selanjutnya...

Rabu, 17 Juni 2009

Menanam 'Pohon' Amal

Oleh Rian Hidayat El-Padary

Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah ta'ala Mahabaik, maka berbuat baiklah kamu sekalian.'' (HR Ibnu Abi Ashim).Kehidupan dunia adalah salah satu tempat persinggahan. Kehidupan dunia adalah salah satu rangkaian episode yang dijalani dan akan dilewati. Kehidupan dunia ibarat tempat menanam yang akan dipanen buahnya di kehidupan akhirat kelak.

Bila kita menanam amal baik, maka buah yang akan dipanen pun akan baik pula. Begitu sebaliknya, jika amal buruk yang kita semai, maka buah keburukan yang akan kita dapatkan.Islam mengajarkan bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, ada kehidupan akhirat yang khairu wa abqa' (lebih baik dan lebih kekal) yang akan dijalani setelah kehidupan dunia usai. Untuk itu, Islam mengajarkan agar umat memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mengisi waktu dengan amalan ketaatan, sehingga bisa menuai keberkahan nantinya.

Jika tahun diibaratkan dengan pohon. Sedangkan bulan adalah cabangnya, hari adalah dahannya, jam adalah daunnya dan amal perbuatan adalah buahnya. Maka, barangsiapa yang menanam ketaatan, maka yang tumbuh adalah ketaatan dengan buah-buahnya yang manis. Akan tetapi, barang siapa yang menanam kemaksiatan dan dosa, maka yang tumbuh adalah pohon dengan buahnya yang pahit dan menjijikkan.

Telah bersabda Rasulullah SAW, ''Orang yang piawai yang menguasai nafsunya dan beramal untuk masa sesudah mati, sedangkan orang yang dungu ialah yang melepaskan kendali nafsunya dan selalu berangan-angan kosong terhadap Allah.'' (HR Ahmad dan Tirmidzi).Jika kita menginginkan buah yang manis dengan bentuknya yang indah kelak di akhirat, maka mulai saat ini, marilah kita tanam pohon ketaatan, dengan mengisi waktu yang kita miliki dengan hal-hal yang bermanfaat dan bernilai ibadah.

Dalam kehidupan dunia, kita diibaratkan perahu kokoh yang sanggup menahan beban, terbuat dari kayu terbaik di dunia, dengan layar gagah menantang angin. Kesejatian kita adalah berlayar mengarungi samudra, menembus badai, dan menemukan pantai harapan. Sehebat apa pun perahu diciptakan, tak ada gunanya bila hanya tertambat di dermaga.
Yang memisahkan perahu dengan pantai harapan adalah topan badai, gelombang, dan batu karang. Yang memisahkan kita dengan keberhasilan adalah masalah yang menantang. Yang memisahkan kita dengan buah yang manis adalah kemauan berkorban dengan menanam amal kebajikan.

Di situlah tanda kesetiaan teruji. Hakikat perahu adalah berlayar menembus segala rintangan. Hakikat diri kita adalah berkarya menemukan kebahagiaan. Hakikat hidup kita adalah beramal menebar kebaikan. Marilah kita menanam amal kebaikan untuk kita panen di kampung akhirat kelak.


Baca selanjutnya...

Selasa, 16 Juni 2009

Negara dan Iman

Oleh Saripudin

Ingar-bingar kampanye capres-cawapres dalam pekan-pekan ini tidak terlepas dari upaya saling menebar harapan ke arah yang lebih baik, apa pun format kampanyenya. Intinya, para kandidat menjanjikan perubahan dan akan menjadikan wajah Indonesia lebih baik di masa depan.

Satu hal yang pasti bagi kaum Muslim adalah bagaimana hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus jauh lebih baik dari hari ini. Tentu saja ini mencakup seluruh dimensi dan semua aspek dalam kehidupan kita.

Allah SWT telah menurunkan dienul Islam ini secara lengkap dan sempurna yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Allah Mahatahu terhadap apa yang menjadi hajat ataupun kebutuhan hidup manusia, dan untuk itulah, Dia telah memberikan atau menyediakan apa saja yang menjadi kebutuhan manusia dan makhluk lainnya.''... dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri''. (QS An-Nahl [16]: 89).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam adalah sebuah sistem integral holistik, komprehensif, yang mengatur tentang hidup dan kehidupan. Sebuah sistem yang menghendaki adanya harmonisasi dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Negara bisa menjadi sarana implementasi efektif upaya ke arah lebih baik, lebih sejahtera, lebih bahagia, baik dalam dimensi duniawi maupun ukhrawi. Tapi, syaratnya, negara perlu dikelola dengan sistem yang baik dan dijalankan oleh pribadi-pribadi yang baik pula.

Setiap energi positif yang terpancar dari pribadi-pribadi yang saleh ini akan berpengaruh positif pula bagi kehidupan banyak orang. Orang yang saleh pastilah orang yang beriman, karena iman merupakan energi yang dahsyat untuk mendorong manusia untuk selalu berada di jalan yang lurus, jujur, bersih, amanah, dan disiplin.

Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sungguh, Allah memberi pengajaran yang sebaik-baik kepadamu.'' (QS an-Nisaa [4]: 58).

Dr Yusuf Qaradhawy menjelaskan dua peran dan fungsi negara. Pertama, memelihara keimanan rakyatnya dengan menekan bahkan menghilangkan hambatan-hambatan (utamanya dari sisi ekonomi) yang dapat mengganggu hubungan mereka dengan Allah SWT. Adapun kedua, membina keimanan rakyat agar kualitas hubungan dengan Allah SWT dapat terus meningkat.

Jika kedua peran dan fungsi negara ini dapat dilakukan, maka dipastikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan jauh lebih baik. Dengan iman dan takwa yang berkualitas, negara akan makmur sejahtera. ''Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.'' (QS al-A'raaf [7]: 96).


Baca selanjutnya...

Senin, 15 Juni 2009

Sukses Lahir dan Batin

Oleh Taufik Damas

Suatu hari, Nabi SAW masuk ke masjid dan mendapati Abu Umamah berada di dalam. Nabi bertanya, ''Mengapa kau ada di sini padahal sekarang bukan waktu shalat?'' Abu Umamah menjawab, ''Aku sedih dan gundah karena banyak utang.''

Rasulullah kemudian berkata, ''Maukah aku ajarkan kalimat (doa) yang membuat Allah akan menghapuskan kesedihan dan melunasi utang-utangmu?'' ''Tentu,'' kata Abu Umamah.

Nabi menyarankan, ''Setiap pagi dan sore, ucapkanlah, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perasaan sedih dan gundah, sikap lemah dan malas, sikap pengecut dan bakhil, serta lilitan utang dan tekanan orang lain.''

Abu Umamah berkata, ''Aku lantas melakukan ajaran Nabi SAW, kemudian Allah menghapus kegundahanku dan melunasi utang-utangku.'' (HR Abu Daud). Melalui hadis di atas, sejatinya Nabi SAW sedang menyampaikan kiat-kiat kesuksesan. Walau redaksi hadis mengajarkan doa, makna yang terkandung memastikan keharusan bekerja untuk meraih kesuksesan.

Kita menemukan poin-poin berikut ini: ajaran memohon perlindungan dari kesedihan dan kegundahan (psikologis); kelemahan dan kemalasan (mental); sifat pengecut dan bakhil (sikap sosial); serta lilitan utang dan tekanan orang lain (sosial-politik).

Dalam teori motivasi apa pun, sasaran utama yang mesti diperbaiki adalah sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan. Ketidakberanian bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan di hadapan kondisi objektif adalah tanda sikap pengecut. Bagi pelaku bisnis seperti Abu Umamah, hampir tidak pernah bebas dari utang. Tetapi, utang haruslah rasional sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing.

Yang diajarkan oleh Nabi SAW di atas adalah berlindung dari lilitan utang (ghalabah al-dain) atau utang yang lebih besar dari kemampuan. Ketika utang lebih besar dari kemampuan dan yang bersangkutan tidak mampu membayar, pihak yang memberikan piutang akan menagih dan menekan dengan berbagai cara.

Dalam keadaan yang demikian, Rasulullah mengajak kita membangun jiwa yang ceria, mental yang kuat, keberanian, murah hati, serta bebas dari lilitan utang dan tekanan orang lain. Beliau juga menegaskan bahwa yang dibutuhkan untuk meraih hidup tenang dan bahagia adalah senantiasa bekerja keras dan berdoa.

Berdoa tanpa kerja adalah sikap manja yang tidak direstui oleh Islam. Kerja tanpa doa akan menjauhkan diri kita dari spiritualitas yang menenteramkan. Kerja dan doa adalah kunci meraih kesuksesan lahir dan batin.


Baca selanjutnya...

Oleh Taufik Damas

Suatu hari, Nabi SAW masuk ke masjid dan mendapati Abu Umamah berada di dalam. Nabi bertanya, ''Mengapa kau ada di sini padahal sekarang bukan waktu shalat?'' Abu Umamah menjawab, ''Aku sedih dan gundah karena banyak utang.''

Rasulullah kemudian berkata, ''Maukah aku ajarkan kalimat (doa) yang membuat Allah akan menghapuskan kesedihan dan melunasi utang-utangmu?'' ''Tentu,'' kata Abu Umamah.

Nabi menyarankan, ''Setiap pagi dan sore, ucapkanlah, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perasaan sedih dan gundah, sikap lemah dan malas, sikap pengecut dan bakhil, serta lilitan utang dan tekanan orang lain.''

Abu Umamah berkata, ''Aku lantas melakukan ajaran Nabi SAW, kemudian Allah menghapus kegundahanku dan melunasi utang-utangku.'' (HR Abu Daud). Melalui hadis di atas, sejatinya Nabi SAW sedang menyampaikan kiat-kiat kesuksesan. Walau redaksi hadis mengajarkan doa, makna yang terkandung memastikan keharusan bekerja untuk meraih kesuksesan.

Kita menemukan poin-poin berikut ini: ajaran memohon perlindungan dari kesedihan dan kegundahan (psikologis); kelemahan dan kemalasan (mental); sifat pengecut dan bakhil (sikap sosial); serta lilitan utang dan tekanan orang lain (sosial-politik).

Dalam teori motivasi apa pun, sasaran utama yang mesti diperbaiki adalah sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan. Ketidakberanian bertindak, menentukan sikap, dan mengambil keputusan di hadapan kondisi objektif adalah tanda sikap pengecut. Bagi pelaku bisnis seperti Abu Umamah, hampir tidak pernah bebas dari utang. Tetapi, utang haruslah rasional sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing.

Yang diajarkan oleh Nabi SAW di atas adalah berlindung dari lilitan utang (ghalabah al-dain) atau utang yang lebih besar dari kemampuan. Ketika utang lebih besar dari kemampuan dan yang bersangkutan tidak mampu membayar, pihak yang memberikan piutang akan menagih dan menekan dengan berbagai cara.

Dalam keadaan yang demikian, Rasulullah mengajak kita membangun jiwa yang ceria, mental yang kuat, keberanian, murah hati, serta bebas dari lilitan utang dan tekanan orang lain. Beliau juga menegaskan bahwa yang dibutuhkan untuk meraih hidup tenang dan bahagia adalah senantiasa bekerja keras dan berdoa.

Berdoa tanpa kerja adalah sikap manja yang tidak direstui oleh Islam. Kerja tanpa doa akan menjauhkan diri kita dari spiritualitas yang menenteramkan. Kerja dan doa adalah kunci meraih kesuksesan lahir dan batin.


Baca selanjutnya...

Sabtu, 13 Juni 2009

Pribadi Tawadhu'

Oleh Ziadi Thohir

''Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.'' (QS Annajm [53]: 32).

Di antara karakter positif orang beriman adalah tawadhu' (rendah hati). Ia tak menganggap dirinya hebat, dan memandang sebelah mata orang lain. Alquran mencela orang yang menganggap diri paling benar dan suci, orang lain salah dan berdosa.

Tawadhu' adalah amalan hati yang tecermin dalam perilaku sehari-hari. Pribadi tawadhu' tak mudah patah hati bila tak dipuji dan pandai memelihara hatinya.

Keberhasilan kerja baginya tidak dinilai dari pujian yang diterima dan penghargaan yang diraih. Ia akan terus bekerja, berkarya, dan tidak berhenti dengan atau tanpa hal itu.

Dia juga tidak menganggap dirinya paling berperan dalam suatu amal usaha. Bila ada orang memujinya paling berjasa dalam sebuah tim, ia menyebut itu semata-mata berkat kerja sama. Ia tak ingin menyakiti perasaan mitra kerjanya.

Sebaliknya, pribadi yang tinggi hati, lalu meremehkan orang lain berarti telah menyalahi hadis Rasul SAW, ''Sesungguhnya Allah mewahyukan padaku agar kalian saling menghargai sehingga seseorang tidak meremehkan dan menganiaya orang lain.'' (HR Muslim).

Jarang memberikan apresiasi terhadap karya orang lain, berarti sudah menjadi takabur. Demikian pula keengganan mengucapkan terima kasih. Ini berbeda dengan sifat tawadhu' yang mudah memberikan apresiasi dan tak segan berterima kasih.

Menjadi pribadi yang tawadhu' tidak akan menjadikan seseorang hina di mata orang lain. Allah SWT sendiri yang akan mengangkat derajatnya. Bisa saja saat ini kerja kerasnya tidak dihargai, lalu namanya tak banyak disebut orang.

Tapi, suatu saat bisa jadi namanya akan harum dan kebaikannya banyak dikenang. ''Tidaklah seorang itu bersikap tawadhu' kepada Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.'' (HR Muslim).

Pribadi tawadhu' memahami keutamaan ini, sehingga tidak perlu berkeras ingin dipuja dan dipuji. Ia meyakini mereka memiliki ke-tawadhu'-an. Allah SWT sendiri yang mengangkat nama mereka.

Apresiasi atau pujian dari orang lain bukanlah harga mati sebuah keberhasilan. Kerja dan karier tidak akan tamat tanpa keduanya. Pribadi yang tawadhu' tak akan jera mengukir prestasi, merajut mimpi, dan memancangkan asa demi kemuliaan hakiki, mendapat ridha Allah SWT.


Baca selanjutnya...

Jumat, 12 Juni 2009

Mental 'Memberi'

Oleh Yodi Indrayadi

''(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.'' (QS Ali Imran [3]: 134).

Dalam tafsirnya mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir menjelaskan salah satu sifat orang bertakwa yang mendapat ampunan dan surga dari Allah SWT adalah gemar bersedekah. Dalam kondisi apa pun, baik mudah maupun sulit, sehat maupun sakit, siang maupun malam, sendiri maupun di keramaian.

Yang menjadi pokok perhatian Islam sebetulnya bukan seberapa banyak seseorang bersedekah, melainkan sesering apa bersedekah. Bukan kuantitas, tapi kontinuitas dalam bersedekah. Islam mengendaki kita memiliki mentalitas memberi.

Atas dasar itulah, Rasulullah SAW memupuk mentalitas memberi pada diri para sahabatnya. ''Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.'' (HR Bukhari).


''Sedekah adalah bukti (keimanan).'' (HR Muslim). Begitu pula sabda berikut, ''Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dapat mendatangkan kebahagiaan, mengusir kesedihan, membebaskan utang, dan menghilangkan rasa lapar seorang Mukmin.'' (HR Ibnu Abi al-Dunya).

Di saat tak ada barang atau uang yang bisa disedekahkan, Rasulullah SAW menegaskan bahwa kesempatan bersedekah masih tetap terbuka. ''Setiap kebajikan adalah sedekah.'' (HR Bukhari).

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda, ''Setiap Muslim hendaknya bersedekah.'' Para sahabat bertanya, ''Jika ia tidak punya sesuatu yang hendak disedahkan?''

Rasulullah SAW menjawab, ''Hendaknya ia bekerja yang mendatangkan manfaat bagi dirinya, lantas bersedekah.'' Mereka bertanya, ''Jika ia tidak mampu?''

Beliau menjawab, ''Menolong orang yang membutuhkan pertolongan.'' Mereka bertanya, ''Jika ia tidak mampu?'' Beliau menjawab, ''Memerintahkan yang baik.'' Mereka bertanya, ''Jika ia tidak mampu?'' Beliau menjawab, ''Menahan diri untuk tidak berbuat jahat. Itu adalah sedekahnya.'' (HR Bukhari).

Ibnu Hajar mengatakan bahwa sedekah tidak hanya bermakna 'memberikan harta', tapi lebih luas dari itu. Sedekah bisa juga berbentuk sumbangsih tenaga dan pikiran. Bahkan, membuang pikiran jahat di kepala pun merupakan sedekah.

Karena itu, kelebihan apa pun, baik berupa materi, tenaga maupun pikiran yang dimiliki seorang Muslim, hendaknya disedekahkan untuk mereka yang membutuhkan.

Jika setiap Muslim memahami ini dengan baik, kita tentu tidak akan lagi menyaksikan orang-orang miskin yang menjerit, balita yang menderita gizi buruk, anak-anak putus sekolah yang telantar, dan pemandangan miris lainnya.


Baca selanjutnya...

Kamis, 11 Juni 2009

Mestakung dan Pertolongan Allah

Oleh Lukman Solihin

Dalam kondisi kesusahan, di manakah sebetulnya letak pertolongan Allah SWT? Sebagai manusia, kita tak mampu menjawabnya secara jelas dan pasti.

Akan tetapi, Alquran telah memberikan penjelasan mengenai hal ini bahwa Allah SWT akan senantiasa menolong hamba-Nya. Dalam surat Albaqarah [2] ayat 214, Allah SWT berfirman, ''Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.''

Sebuah konsep dikemukakan oleh Prof Yohanes Surya untuk menjelaskan keberhasilan manusia melampaui cobaan hidup, yaitu mestakung, akronim dari semesta mendukung.

Melalui konsep yang diadopsi dari ilmu fisika ini, Yohanes Surya ingin menjelaskan bahwa dalam setiap kondisi kritis, seorang insan mampu melampaui cobaan hidup yang mungkin tidak dapat dilalui dalam kondisi normal.

Dalam kondisi kritis; sikap, mental, dan tindakan manusia kerap kali ditekan untuk mencapai batas maksimal. Di sinilah dorongan insani, alam, serta lingkungan sosial seolah-olah saling terkait untuk membantu memantapkan keberhasilan yang ingin diraih tersebut.

Islam sebetulnya telah mengajarkan kita untuk mampu menghadapi cobaan hidup dengan senantiasa bersabar, berdoa, dan berusaha. Melalui tiga hal itulah sebetulnya mestakung itu muncul, yaitu pertolongan dari Allah SWT.

Dalam menjalani cobaan, selain sifat sabar, doa dan berusaha adalah sisi lain yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Dalam doa, terdapat sikap penyerahan diri, mengakui kelemahan kita sebagai individu, serta berharap pertolongan besar dari Allah SWT.

Secara tersirat, Allah SWT telah memberikan jaminan. Jaminan itu bahwa mereka yang memohon pertolongan kepada-Nya niscaya akan dikabulkan, seperti digambarkan dalam QS Arra'du [13] ayat 31.

Selain berdoa, manusia juga wajib untuk berusaha. Sebab, Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka melakukan perubahan terhadap keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Ini seperti yang ditegaskan Allah SWT dalam QS Arra'du [13] ayat 11.

Di sinilah, kita bisa melihat bahwa mestakung atau pertolongan Allah SWT itu tidak akan muncul secara tiba-tiba. Berdoa tidak hanya mengandung sikap penyerahan diri yang sempit, yang berarti tanpa daya dan upaya.

Dengan berdoa, seorang insan sebetulnya sedang memanjangkan harapan, menghidupkan motivasi dan kepercayaan diri, serta memantapkan niat untuk menjalani kehidupan. Sebab, di dalam doa dan usaha terkandung janji pertolongan Allah SWT.


Baca selanjutnya...

Rabu, 10 Juni 2009

Momentum Spiritual

Oleh Nawawi Efendi

Seluruh ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan haji yang telah Allah SWT tentukan waktu-waktu pelaksanaannya adalah momentum spiritual yang seharusnya dimaksimalkan seorang Muslim.

''Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam'.'' (QS Al-An'am [6]: 162). Namun, untuk mengingat Allah SWT, seorang Muslim tidak perlu menunggu waktu-waktu tertentu itu. Karena pada hakikatnya, seluruh waktu yang telah Allah SWT karuniakan dalam hidup ini adalah momentum spesial.

Seorang Muslim mengekspresikan pengabdian kepada-Nya, sesuai profesi dan bidang pekerjaan yang dikuasai. Apa pun profesinya, kita bisa menjadikan profesi itu sebagai sarana beribadah dan menjalankan tugas sebagai khalifah Allah SWT.


Tentunya, harus dilandasi keikhlasan dan sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar semua waktu yang dilalui menjadi momentum spiritual untuk mengabdi kepada-Nya.

''Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.'' (QS Al-Ashr [103]: 1-3).

Iman akan menjadikan seseorang semakin sadar tentang tujuan utama dari segala aktivitasnya. Amal saleh akan membentenginya dari perbuatan sia-sia dan maksiat. Nasihat pada kebenaran dan kesabaran akan meneguhkan diri, sehingga tidak mudah putus asa ketika usahanya gagal.

Tidak sepatutnya seorang Muslim menyia-nyiakan waktunya. Karena sedetik saja dalam hidup ini, kalau digunakan untuk berzikir, akan menjadi modal utama untuk keselamatan di akhirat kelak.

Sebaliknya, waktu-waktu yang tidak diisi dengan mengingat Allah SWT, dapat menjadi kerugian besar bagi seseorang ketika saat berada di akhirat kelak. Ia akan berandai-andai untuk kembali lagi ke dunia untuk beribadah kepada Allah SWT dengan penuh kesungguhan.

Sebagaimana firman Allah SWT, ''Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan'.

Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.'' (QS Faathir [35]: 37).


Baca selanjutnya...

Selasa, 09 Juni 2009

Mawas Diri

Oleh Reti Riseti

''Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.'' (QS Alhasyr [59]: 19).Setiap orang pasti menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di akhirat kelak. Untuk itu, Allah SWT mengingatkan manusia untuk muhasabah.

Inti muhasabah adalah introspeksi, mawas diri, melihat, memeriksa, melakukan perhitungan, dan mengoreksi diri sendiri secara jujur. Mawas diri merefleksikan kesadaran akan esensi diri yang tidak sempurna serta eksistensinya di dunia yang sementara.Sedangkan diri abadi adalah diri yang berada dalam kehidupan akhirat, yaitu kehidupan di masa depan sekaligus hari esok sebagai tujuan akhir perjalanan kehidupan manusia di dunia.

Mawas diri juga menggambarkan kesadaran akan pentingnya membawa bekal dalam perjalanan kehidupan agar sampai akhir tujuan dengan selamat dan bahagia. Bekal yang baik adalah amal saleh yang melahirkan keridhaan-Nya dan terbebasnya dari dosa yang dapat menyelamatkan dari murka-Nya.


Memerhatikan bekal artinya sadar untuk menimbang dengan cermat amal saleh pribadi yang telah dilakukan untuk mendatangkan keridhaan-Nya. Menyadari dan menghitung dosa-dosa yang telah dilakukan, yang boleh jadi akan jadi penghalang mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak.

Pertimbangan dan perhitungan yang cermat akan melahirkan rasa syukur bila telah melakukan amal saleh dan terdorong kembali melakukan amal saleh yang lain. Sedangkan kesadaran akan dosa yang telah diperbuat akan melahirkan tobat, upaya pembersihan diri, dan selanjutnya melakukan perbaikan perilaku (ishlah).

Sikap cermat, hati-hati, mawas diri, dan motivasi untuk selalu berupaya melakukan berbagai amal kebaikan dan menghindar dari perbuatan dosa, lahir dari ketakwaan kepada Allah SWT. Sementara sikap abadi dan pembangkangan pada Allah SWT pada hakikatnya menggambarkan tercerabutnya kesadaran mawas diri, yang pada gilirannya akan mengarahkan pada perbuatan dosa yang mencelakakan diri sendiri.

Seseorang perlu mengingatkan dirinya bahwa amal kebaikan yang telah dilakukan, semata atas petunjuk dan kasih sayang-Nya. Karena itu, pada dasarnya tidak ada prestasi pribadi. Dan pada hakikatnya, seorang yang mawas diri adalah yang mampu menempatkan diri secara proporsional di alam jagat raya ini.


Baca selanjutnya...

Kecerdasan Qalbiah

Oleh Ali Rif'an

''Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, seluruh tubuh menjadi baik. Tapi, bila rusak, semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.'' (HR Al-Bukhari dari Nu'man ibn Basyir).

Kalbu merupakan materi organik (al'adhuw ai'mady) yang memiliki sistem kognisi (jibaz idraky ma'ripiy) dan mengandung emosi (al-syu'ur). Al-Ghazali mendefinisikan kalbu menjadi dua.

Pertama, kalbu jasmani, yaitu daging sanubari yang terletak di dada sebelah kiri atau disebut jantung (heart). Kedua, kalbu rohani, yaitu sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ryhani.

Kalbu jasmani berfungsi mengatur peredaran darah serta segala perangkat tubuh manusia. Sementara, kalbu rohani berperan sebagai pemandu dan pengendali struktur jiwa (nafs). Bila kedua kalbu ini berfungsi normal dan baik, kehidupan manusia akan baik dan berjalan sesuai fitrahnya.


Lantas, bagaimana kecerdasan qalbiah itu bisa hadir? Kecerdasan qalbiah akan hadir tatkala seseorang berperilaku qalbiah, yaitu senantiasa merasakan kehadiran Allah SWT dalam setiap tindakan, kapan pun dan di mana pun. Perilaku qalbiah akan timbul manakala kita selalu mengingat Allah (zikrullah).

''Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.'' (QS Al-Ahzab [33]: 41).

Seseorang yang selalu mengingat-Nya, hatinya akan merasa tenang dan tenteram meski diimpit segala macam persoalan. ''(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.'' (QS Arra'd [13]: 28).

Orang yang senantiasa berzikir juga akan selalu diingat Allah SWT. ''Ingatlah kalian kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian.'' (QS Albaqarah [2]: 150).

Bila seseorang telah diingat Allah SWT, hatinya akan bersih dan selalu dijaga dari perbuatan keji dan mungkar. Di sinilah, pengelolaan dan pemeliharaan kalbu dan perilaku qalbiah yang termanifestasi dalam bentuk zikir, akan membawa manusia pada kecerdasan qalbiah. Sehingga, dengan mudah menyerap segala bentuk kebenaran yang datang dari Allah SWT.

Kecerdasan qalbiah ini akan pula menjadi pengendali dan pemegang komando terhadap setiap perilaku manusia yang terdiri atas empat sifat. Seperti, sifat bahimiah (syahwat), sabu'iyyah (amarah), syaitiniyah (hasud, dengki, dan iri hati), dan rabbaniyah (unsur sifat Ilahi).


Baca selanjutnya...

Senin, 08 Juni 2009

Berbuat Baik dan Terbaik

Oleh A Ilyas Ismail

Islam memiliki doktrin yang menyuruh kita agar berbuat baik dan terbaik, yakni ihsan. Kata 'ihsan' berakar dari kata ahsana, yuhsinu, ihsan , yang secara bahasa bermakna kebaikan yang diperoleh melalui ilmu dan amal.

Dalam konteks ini, Umar ibn al-Khathab pernah berkata, '' Al-Nas abna'u ma yuhsinun ,'' manusia adalah anak dari kebaikan yang dilakukan. Maksudnya, kita dinamakan manusia manakala kita mengerti kebaikan dan melakukannya dalam kehidupan.

Manusia harus berbuat baik dan terbaik setidak-tidaknya karena tiga alasan. Pertama, manusia adalah makhluk terbaik (QS Attiin [95]: 4) dan tertinggi dalam arti dilebihkan atas makhluk-makhluk yang lain (QS Al-Isra [17]: 70).

Kedua, manusia diperintahkan agar berbuat baik sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik kepada mereka (QS Alqashash [28]: 77). Ketiga, manusia disuruh berlomba-lomba dalam kebaikan ( fastabiq al-khirat ) dan menciptakan kompetisi untuk memastikan siapa yang terbaik di antara mereka. ''Dialah Allah, Tuhan yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.''(QS Almulk [67]:2).

Ihsan sebagai doktrin yang mengharuskan kita agar berbuat baik dan terbaik sejatinya mencakup tiga dimensi. Pertama, ihsan kepada Tuhan (vertikal). Ihsan dalam arti ini diwujudkan dengan melakukan ibadah kepada Allah SWT sebaik mungkin dan sesuai perintah Nabi, ''Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Sekiranya kamu tidak dapat melihat-Nya, sadarilah bahwa Allah pasti melihatmu.'' (HR Muslim).

Kedua, ihsan kepada sesama manusia (horizontal). Ihsan dalam arti ini, menurut pakar tafsir al-Ishfahani, bermakna al-in'am `ala al-ghair , yaitu berbagi kenikmatan atau kebaikan kepada orang lain mulai dari menyambung tali persaudaraan, silaturahim, memberikan maaf, hingga memperbanyak donasi (sedekah).

Ketiga, ihsan kepada diri sendiri (profesional). Hal ini mengharuskan kita untuk bekerja secara profesional dalam arti bekerja sebaik mungkin dan dengan kualitas tertinggi serta menghindarkan diri dari kebiasaan buruk, yaitu bekerja asal jadi atau sekenanya.

Adapun kinerja (performa) dengan kualitas ihsan itu dapat diupayakan melalui lima syarat, yaitu keyakinan ( belief ), pengetahuan ( knowledge ), keterampilan ( skill ), disiplin, dan amanah ( trust ).

Allah SWT sangat menghargai orang-orang yang mampu berbuat ihsan ( muhsinin ). Tidak kurang dari 15 kali dalam Alquran, Allah SWT menyatakan cinta-Nya kepada mereka. Semoga kita bisa berbuat baik dan terbaik.


Baca selanjutnya...

Jumat, 05 Juni 2009

Pidato Politik Calon Pemimpin

Oleh Taufik Damas

Dalam Tarikh al-Khulafa' , Imam Suyuthi mengungkap tiga model pidato politik dalam sejarah Islam. Pidato itu disampaikan tiga tokoh politik dalam rentang waktu berdekatan. Tapi, isi tiga pidato itu memiliki tekanan makna yang berbeda.

Pada tahun 20 H, Umar bin Khathab menyampaikan pidato politik di atas mimbar di Madinah. Ketika ia sedang berbicara, seorang Badui berteriak, ''Demi Allah. Jika kau melakukan penyimpangan, kami akan meluruskanmu dengan pedang!''

Mendengar ucapan orang Badui itu, Umar lantas mengucapkan kata-kata terkenal. ''Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan orang yang akan meluruskan Umar dalam masyarakat.''Pada tahun 45 H, Muawiyah menyampaikan pidato politik. Di tengah pidato, ada yang menyela, ''Demi Allah. Jika kau melakukan penyimpangan, kami akan meluruskanmu.''Muawiyah bertanya kepada orang itu, ''Dengan apa?''
Ia menjawab, ''Dengan kayu.''

'Kalau begitu, kami akan bersikap lurus,'' kata Muawiyah.Pada tahun 75 H, Abdul Malik bin Marwan menyampaikan pidato politik di Madinah. Abdul Malik berkata, ''Demi Allah. Jangan ada orang yang berani menasihatiku untuk bertakwa kepada Allah. Jika ada yang berani, aku akan memenggal lehernya!'' Kemudian ia turun dari mimbar.

Tiga model pidato politik ini mengandung semangat berbeda. Pidato Umar didasari ketulusan dan kejujuran. Ini terbukti gaya kepemimpinannya yang sangat adil dan bijaksana. Umar adalah sosok yang tegas dan berani, sehingga diberi gelar al-faruq (sang pembeda yang hak dan batil).

Sedangkan pidato Muawiyah hanya retorika. Tak ada ketulusan dalam pidato itu. Apa yang disampaikan tidak benar-benar akan dilakukan. Dialog antara Muawiyah dan orang yang menyela pidatonya hanya sandiwara. Memakai istilah politik saat ini, yang dilakukan Muawiyah hanya demokrasi prosedural.

Pidato politik ketiga memiliki ketegasan dan kejelasan yang sama dengan pidato pertama. Tapi, memiliki semangat yang sangat berbeda. Ketegasan pidato ketiga justru didorong otoritarianisme yang tidak menerima kritikan orang lain. Sekadar mengingatkan untuk bertakwa, orang diganjar dengan pedang.

Menjelang pemilu presiden, kita sering mendengar pidato politik melalui berbagai media massa. Kita berharap pidato politik yang disampaikan para politikus itu merujuk kepada kejujuran dan ketulusan Umar bin Khathab.''Ada tiga kelompok orang yang pasti masuk surga: penguasa yang adil, jujur, dan konsisten.'' (HR Muslim).

Dalam dinamika politik Indonesia saat ini, umat Muslim harus memiliki kecerdasan dan keberanian politik untuk mengontrol sikap para politikus. ''Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang lalim,'' begitu sabda Nabi SAW dalam Sunan Abu Dawud .
Baca selanjutnya...

Kamis, 04 Juni 2009

Bersabar

Oleh Fuad Hasan

Dalam kehidupan sehari-hari yang dibutuhkan manusia dalam menjalankan segala perintah, baik yang bersumber dari Allah SWT, manusia, atau dari diri kita sendiri, adalah perlu adanya sifat ridha atau ikhlas disertai sabar.

Sabar merupakan kunci kesuksesan, sehingga Muhammad Idris al-Junaidi berkata, ''Sabar merupakan jalan yang menunjukkan kelulusan.''Sabar tidak harus menunggu tanpa gerakan (no action ). Tetapi, sabar berarti suatu sikap betah atau dapat menahan diri pada kesulitan ( musykilat ) yang dihadapinya.Kendati begitu, tidak berarti bahwa sabar itu langsung menyerah tanpa upaya melepaskan diri dari kesulitan yang dihadapi.

Maka, tepatnya sabar adalah sikap yang diawali dengan ikhtiar, lalu diakhiri dengan ridha dan ikhlas. Jika kesabaran dibatasi, manusia tidak akan bisa untuk membatasinya. Semakin tinggi keimanan seseorang kepada Allah SWT, maka akan lebih tinggi pula sifat sabar mereka.Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa yang bersabar, maka ia diberi kekuatan sabar oleh Allah SWT. Seseorang akan diberi kebaikan oleh Allah SWT dan kelapangan hidup karena ia telah bersabar.'' (HR Bukhari Muslim).

Dengan bersabar kehidupan kita akan selalu merasa tenteram, mempunyai cita-cita besar, yang menciptakan kembalinya semangat hidup dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan sebagai manusia.Karena itu, sabar mengandung nilai suatu identitas baik sebagai kepribadian manusia. Sabar sangat tepat bila dikontekskan dengan semangat hidup.

Lebih tepatnya lagi, sabar dalam berusaha, bukan sabar hidup dalam penderitaan, keputusasaan, bukan pula dalam kebodohan. Namun, konteks sabar yang sesungguhnya adalah sabar dalam rangka belajar dengan sungguh-sungguh, sabar dalam berusaha (ikhtiar), sabar dalam melaksanakan tugas.

Jika kita telah terbiasa bersifat sabar, Allah SWT akan selalu menyertai dalam setiap gerak langkah kita, bahkan setiap embusan napas kita. Allah SWT berfirman ''Sesungguhnya Allah selalu menyertai arang-orang yang sabar.'' (QS Albaqarah [2]: 156). Sifat ini mampu menciptakan manusia selalu merasa dekat dengan Tuhannya. Oleh karenanya, segala perasaan atau perbuatan yang ada pada diri kita, senantiasa diawasi oleh Allah SWT.

Maka kesungguhan, etos kerja, semangat hidup, mengumpulkan harta untuk bersedekah, akan terasa ringan karena setiap gerak langkahnya selalu dilihat dan diridhai Allah SWT.


Baca selanjutnya...

Rabu, 03 Juni 2009

Mujahadah Plus

Oleh Imam Taufik Al Khatab

Dalam Islam, aktivitas kerja yang disertai kesungguh-sungguhan dikenal dengan istilah mujahadah . Sifat-sifat mujahadah ini mencakup setiap kinerja yang mengandalkan manajemen dan perangkat-perangkat pendukung lainnya.Namun seringkali, dalam mengusahakan sebuah cita-cita, kita menjadi terperangkap dalam rutinitas upaya dan kerja keras yang hampa akan tujuan hakiki. Kalaupun ditetapkan target dan tujuan, seringkali tidak ada hubungan sama sekali dengan sang pembuat cita-cita itu sendiri.

Inilah justru yang tak dikehendaki dalam Islam. Syarat keberhasilan lahir dan batin dalam Islam sejatinya bisa dirumuskan dari firman Allah SWT berikut, ''Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.'' (QS Al-Ankabut [29]: 69).Ayat ini tidak berbicara aktivitas jihad dalam konteks qital (berperang). Hal itu dikuatkan oleh Al-Imam As Syaukani bahwa ayat ini lebih menjelaskan aktivitas jihad dengan makna umum karena turun pada fase Makkiyah.

Dengan bahasa yang jelas dan tegas, ayat ini mensyaratkan terbukanya berbagai jalan keluar atau terbukanya jalan menuju tujuan bila mencakup dua hal. Pertama, dilakukan dengan kesungguhan. Kedua, aktivitas itu harus berada di jalan Allah SWT, dan dengan sendirinya mengharapkan ridha-Nya. (Fathul Qadhr, jilid IV, hal 266).


Segala aktivitas yang memiliki prasyarat tersebut, akan Allah SWT tunjukkan jalan-jalan menuju tujuan yang dikehendaki. Namun, disadari atau tidak, serigkali aktivitas kita hanya memenuhi syarat pertama, bahkan maksimalisasi usaha habis-habisan dikerahkan untuk porsi itu.Kita lengah dalam mengevaluasi, apakah aktivitas kita benar-benar memiliki visi dan misi yang bersifat Ilahiyah, ataukah hanya sekadar untuk urusan duniawi semata. Bahkan, sekecil apa pun urusan duniawi yang kita lakukan, sesungguhnya Islam tak pernah melepaskannya dengan nilai-nilai Ilahiyah.

Terlebih untuk sebuah kerja besar. Artinya, Islam sama sekali tidak mengenal dikotomi antara urusan duniawi dan ukhrawi. Islam mengajak kita untuk tidak hanya berusaha semaksimal mungkin dalam bekerja, tetapi juga meniatkan diri bahwa aktivitas kita ini benar-benar berada di jalan Allah SWT dan untuk keridhaan-Nya.Bila faktanya ada manusia yang sukses tanpa disertai visi dan misi berbasis keilahiyahan, ketahuilah bahwa kesuksesan itu hanya fatamorgana semata. Di sisi Allah SWT, ia belum bernilai apa-apa.

Baca selanjutnya...

Selasa, 02 Juni 2009

Memperbarui Iman

Oleh Arif Rahman Hakim

Para ulama (dari generasi sahabat dan setelahnya) berkata, iman itu bertambah dan berkurang. Berangkat dari alasan teologis ini, maka setiap orang beriman wajib memperbarui imannya, agar ketika iman itu berada di titik kulminasi terendah, ia tidak terus berkurang sampai akhirnya menghilang.

Layaknya memperbarui bangunan, memperbarui iman juga bukan berarti membuang yang lama dan menggantinya dengan yang baru, melainkan memperbaiki yang sudah rusak dan menambah yang sudah hilang, sehingga menjadi baru kembali.Cara paling efektif memperbarui iman adalah dengan thalabul ilmi. Dengan mencari ilmu, keimanan bisa terus bertambah, ilmu apa pun itu. Karena Islam tidak mengenal dikotomi ilmu (ilmu agama dan ilmu nonagama). Itulah mengapa mencari ilmu diwajibkan dalam Islam, karena dengan ilmu, iman seseorang bisa bertambah dan terjaga kestabilannya.

Semua ilmu pada titik ujungnya akan mengarah pada kemahakuasaan Allah SWT, kemahaperkasaan Allah SWT, kemahabijaksanaan-Nya, dan sifat-sifat maha lainnya yang Allah SWT miliki. Jika demikian, semakin banyak ilmu yang dimiliki seseorang, semakin besar pula rasa takut kepada Allah SWT.Namun, dari sekian banyaknya ilmu, ada ilmu yang paling utama di sisi Allah SWT, karena ilmu itu langsung menceritakan tentang Allah SWT, tentang malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hukum-Nya, dan hal lain yang berkaitan dengan-Nya.


Bahkan, ilmu tersebut merupakan firman-Nya sendiri, perkataan-Nya, dan ucapan-Nya. Ilmu itu tiada lain adalah Alquran. Karenanya, Rasulullah SAW bersabda, ''Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.'' (HR Al-Bukhari). Banyak cara untuk mencari 'ilmu Alquran', apalagi di zaman modern ini teknologi komunikasi sudah semakin canggih. Bisa dengan cara membaca buku, internet, mendengarkan radio, menonton televisi, dan lainnya.

Akan tetapi, di antara cara-cara itu, ada satu yang sangat dicintai Allah SWT, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. ''Setiap kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) membaca kitab Allah (Alquran) dan mempelajarinya, pasti akan turun kepada mereka ketenangan, dan dikelilingi oleh para malaikat yang menyebut-nyebut mereka di sisi Allah.'' (HR Muslim).

Dengan demikian, cara mencari ilmu Alquran yang paling utama dan paling dicintai Allah SWT adalah dengan bersama-sama di dalam masjid melalui pengajian. Karenanya, menghadiri pengajian di masjid lebih utama, meski cara lainnya juga sama-sama menghasilkan ilmu dan pengetahuan untuk memperbarui keimanan.


Baca selanjutnya...

Senin, 01 Juni 2009

Berani Memaafkan

Oleh Yodi Indrayadi

Abu Abdillah al-Jadali berkata, ''Aku pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah. Ia menjawab bahwa beliau tidak pernah bicara dan berlaku kotor. Beliau tidak pernah mengangkat suara, sekalipun itu di pasar. Beliau tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan. Beliau pemaaf dan lapang dada.'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Memaafkan adalah pilihan yang cukup sulit untuk dilakukan, terutama bila berkenaan dengan kesalahan yang sangat berat dan menorehkan luka yang dalam di hati.

Padahal, tidak sedikit dalil, baik itu yang disebutkan dalam Alquran maupun yang dijelaskan langsung oleh Rasulullah SAW, yang menganjurkan sikap memaafkan orang lain.

Alquran menyebutkan bahwa memaafkan adalah perbuatan mulia. ''Tetapi, orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.'' (QS Asysyuura [42]: 43).

Saat bersama para sahabatnya, Rasulullah pernah bersabda, ''Maukah kalian aku beri tahu sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan dan meninggikan derajatmu?'' Para sahabat menjawab, ''Tentu, wahai Rasulullah.'' Rasulullah lalu bersabda, ''Bersabar terhadap orang yang membencimu, memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menyambung silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu.'' (HR Thabrani).

Bahkan, Allah berjanji akan melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada orang yang memaafkan orang lain. Allah berfirman, ''Dan, jika kamu maafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.'' (QS Attaghaabun [64]: 14).

Pada ayat lain, Allah menjelaskan bahwa orang yang memaafkan termasuk orang-orang yang mendapat surga seluas langit dan bumi. Allah berfirman, ''Dan, orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (QS Ali Imran [3]: 133-134).

Dan, memang, memaafkan membutuhkan keberanian dan kekuatan mental yang tidak kecil. Alih-alih terhadap orang yang bersedia memaafkan, terhadap orang yang menahan marah saja, Rasulullah sudah menyebutnya sebagai orang yang pemberani. Rasulullah bersabda, ''Bukan dikatakan pemberani, orang yang cepat marah. Seorang pemberani adalah yang dapat menguasai dirinya sewaktu marah.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, memaafkan bukanlah sikap lemah atau kalah. Memaafkan adalah sikap mulia dan ksatria. Bahkan, memaafkan adalah salah satu sifat Tuhan yang perlu kita imani dengan cara meneladaninya. Allah berfirman, ''Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.'' (QS Annisa [4]:149).


Baca selanjutnya...