Sabtu, 30 Mei 2009

Menuju Aktualisasi Diri

Oleh Wenny Hikmah Syahputri

Setiap manusia dianugerahi potensi oleh Allah SWT. Namun nyatanya, tidak semua dapat mengaktualisasikan diri dengan baik.

Sebagian beralasan keterbatasan nikmat menghambat mereka untuk lebih berprestasi. Atau, kemiskinan menghambat untuk beribadah lebih khusyuk kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW hidup dengan berbagai keterbatasan. Di usianya yang masih kanak-kanak, Rasulullah SAW sudah harus kehilangan rasa kasih sayang kedua orang tuanya. Ini membuat Rasulullah SAW harus mengisi masa remajanya dengan bekerja keras guna menafkahi dirinya.

Kecaman dari kaum Quraisy membuat Rasulullah SAW selalu terancam rasa amannya. Bahkan, selalu menjadi target pembunuhan kaum kafir Quraisy. Tapi, halangan demi halangan serta keterbatasan itu tak menjadikan Rasulullah SAW menjadi sosok yang tak berdaya.

Sebaliknya, Muhammad SAW akhirnya menjadi seorang saudagar di masa dewasanya. Kualitas ibadahnya jangan ditanya lagi, dan beliau seorang pemimpin yang amat bijaksana dan sukses. Bahkan, keberadaan beliau sebagai seorang pemimpin juga diterima oleh kaum non-Muslim sekalipun.

Semua ini bukti bahwa Rasulullah SAW mampu mengaktualisasikan dirinya dengan amat baik. Rasulullah SAW mampu menjalankan peran sebagai seorang hamba Allah SWT, pemimpin, kepala keluarga, panglima perang, seorang pedagang. Semua peran itu dijalankan sangat baik.

Apa rahasia di balik kesempurnaan aktualisasi diri Rasul SAW? ''Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur dan Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.'' (QS Al-Insan [76]: 2-3).

Ini rahasia lain yang dinyatakan dalam Alquran, Allah SWT menambah nikmat-Nya kepada mereka yang bersyukur. Bahkan, Allah SWT akan memberikan lebih banyak lagi kepada yang bersyukur.

Ini karena mereka adalah orang-orang ikhlas yang puas dengan pemberian Allah SWT. Mereka ridha dengan karunia itu, dan menjadikan Allah SWT sebagai pelindung.

Keikhlasan dan keridhaan menerima berbagai keadaan inilah kunci sebuah aktualisasi diri. Sudah selayaknya setiap Muslim bersyukur, selain sebagai kewajiban terhadap segala pemberian dan anugerah


Baca selanjutnya...

Jumat, 29 Mei 2009

Kekhawatiran Para Malaikat

Oleh Nawawi Efendi

Ketika Allah SWT memutuskan untuk menjadikan seorang khalifah di muka bumi, para malaikat bertanya, sebagaimana firman-Nya, ''Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?''

Allah berfirman, ''Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'' (QS Albaqarah [2]: 30). Dari rangkaian komunikasi itu, ada dua hal yang menjadi kekhawatiran para malaikat.
Pertama, kerusakan di bumi. Kedua, timbulnya pertumpahan darah atau pembunuhan.

Apa yang dikhawatirkan para malaikat itu nyata terjadi sejak zaman Nabi Adam AS sampai sekarang. Kerusakan yang dimaksud adalah rusaknya alam hingga menyebabkan banjir, longsor, dan polusi. Atau, juga dalam arti rusaknya moral manusia, sehingga terjadi banyak kasus kebatilan.

Berkaitan dengan kekhawatiran pertama, Allah SWT berfirman, ''Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).'' (QS Arrum [30]: 41).

Jelas bahwa kerusakan yang terjadi disebabkan ulah manusia sendiri.
Penebangan liar merupakan salah satu penyebab utama banjir. Asap kendaraan bermotor berakibat polusi udara. Pembuangan limbah serampangan menyebabkan polusi air. Semua itu dilakukan manusia.

Selain kerusakan alam, rusaknya moral juga salah satu penyebab utama hancurnya tatanan masyarakat dan negara. Pesatnya perkembangan teknologi dan gencarnya arus globalisasi, selain berdampak positif, juga turut mempercepat tersebarnya dekadensi moral ke segala penjuru.

Adapun kekhawatiran para malaikat berupa pertumpahan darah, sudah terjadi sejak zaman Nabi Adam AS, tatkala salah satu putranya membunuh saudaranya sendiri dengan alasan dengki.

Kasus pembunuhan tidak berhenti di situ, tapi berlanjut seakan mewarnai perjalanan hidup manusia hingga kini. Dan, pembunuhan itu tak hanya berkaitan dengan masalah pribadi, sebagaimana yang terjadi pada kasus Qabil dan saudaranya itu, tapi meluas pada tawuran antarkampung, bentrok antarsuku, bahkan peperangan antarnegara.

Semua fanomena itu semakin menuntut kita untuk kembali pada tujuan utama hidup ini, yaitu memakmurkan bumi dengan kedamaian dan kesejahteraan. Bukan peperangan dan kerusakan agar kekhawatiran para malaikat tidak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang.


Baca selanjutnya...

Kamis, 28 Mei 2009

Konsekuensi Sifat Takabur

Oleh Afthonul Afif

Takabur adalah sifat atau perbuatan buruk yang paling dibenci Allah SWT, selain perbuatan menyekutukan-Nya. Ada kesamaan di antara keduanya, yaitu menganggap ada kekuatan di luar-Nya yang dapat dijadikan sebagai sumber kekuatan dan kebanggaan.

Secara definitif, takabur adalah i’jabul mar’i binafsihi ujub, sifat terpesona dan membanggakan diri secara berlebihan. Dalam ilmu psikologi, sifat ini disebut narsisisme atau sikap yang menempatkan ego sebagai satu-satunya parameter untuk menilai segala bentuk kebenaran.

Jika manusia tertawan sifat ini, akan menjadi pihak yang ‘merasa paling’ dalam segala hal; paling mampu, paling pintar, paling hebat, paling sempurna, paling kaya, paling berkuasa, dan sebagainya. Sifat ini sumber malapetaka bagi manusia, karena dapat menjerumuskan ke api neraka. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji sawi (atom) dari kesombongan.’‘ (HR Muslim).

Allah SWT mengutuk siapa saja yang memelihara sifat ini, karena ta kabur penanda bagi pembangkang an Iblis terhadap kebesaran kekua sa an-Nya. Sesaat setelah Allah SWT menciptakan Adam, Dia memerintahkan Iblis untuk bersujud di hadapan Adam.

Namun, Iblis menolak melakukannya. Dengan congkak, Iblis berkata, ‘’Aku lebih baik daripada dia (Adam), karena aku Kau ciptakan da ri api, sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.’‘ (QS Shaad [38]: 76).

Jika ada orang yang dengan congkak membanggakan dirinya, menganggap dirinya ukuran un tuk segala hal, dan merasa ber daulat sepenuhnya atas hidupnya tanpa membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain, dia sebenarnya telah memutuskan untuk bersekutu dengan Iblis.

Di akhirat kelak, orang dengan mental takabur seperti ini juga akan menjadi teman bagi Firaun, Qarun, Namrud, dan manusiamanusia terkutuk lainnya karena kecongkakannya.

Sungguh nyata dampak buruk dari sifat takabur. Bukan hanya api neraka yang akan menunggu, tapi dalam kehidupan sosial se hari-hari pun, sifat ini tentu akan melahir kan konsekuensi buruk. Misalnya membuat orang lupa diri, serakah, egois, dan akan dimusuhi orang-orang di sekitar. Tentu saja ini ha nya sedikit dampak buruk sifat takabur.

Untuk itu, kiranya perlu kita teguh kan kembali pesan Ali bin Abi Thalib agar terhindar dari sifat takabur. ‘’Jika kau berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah pasti dosanya lebih sedikit. Dan, jika kau berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah pasti amalnya lebih banyak dari amalmu.’‘


Baca selanjutnya...

Rabu, 27 Mei 2009

Tangisan Langit dan Bumi

Oleh Imam Taufik Al Khatab

Berpredikat sebagai mukmin adalah keistimewaan tiada banding. Alquran banyak menyebutkan keutamaan dan kedudukan ini, baik di dunia maupun akhirat.
Namun, yang tak banyak dibahas adalah bagaimana sesungguhnya kedudukan seorang mukmin di mata makhluk Allah SWT yang bernama langit dan bumi.

Al Imam Ibnu Jarir meriwayatkan, suatu ketika Ibnu Abbas RA ditanya seseorang, ''Wahai Abal Abbas, apakah engkau mengetahui firman Allah (QS An Nahl [16]: 29)? Apakah benar bahwa langit dan bumi dapat menangisi seseorang?''

Ibnu Abbas menjawab, ''Benar, sesungguhnya tak seorang pun di muka bumi ini melainkan ia memiliki pintu di langit di mana darinya rezeki diturunkan dan amalan dinaikkan. Jika seorang Mukmin meninggal, tertutuplah pintu itu dan menangislah ia karena kehilangan.''


''Demikian pula halnya bumi, ia merasakan pula kehilangan yang selama ini menjadi tempat beribadah. Di atasnya, mukmin shalat dan berzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Maka, menangislah bumi kepadanya.'' (Tafsyir Ibnu Katsir, IV/128).

Rasulullah SAW bersabda, ''Ketahuilah, tidak ada (istilah) keterasingan bagi seorang mukmin. Tidak ada seorang mukmin pun yang mati di pengasingan, di mana dia terasing dari orang-orang yang mencintainya, melainkan ia akan ditangisi oleh langit dan bumi.'' (HR Ibn Jarir).

Manusia berpredikat Mukmin bukanlah manusia biasa. Seluruh tindak-tanduknya disaksikan secara langsung oleh langit dan bumi. Ketika wafat dan meninggalkan tempat asalnya, langit dan bumi turut menangis karena mereka kehilangan seseorang yang terbiasa memakmurkan bumi dengan amalan-amalan saleh.

Sangatlah bijak bila dalam melakukan aktivitas sehari-hari, kita berkaca tidak hanya kepada diri sendiri, tapi juga kepada alam semesta ini. Allah SWT telah menciptakan semua makhluk, baik di langit maupun di bumi yang sesungguhnya punya kekuatan berinteraksi, antara sesama mereka maupun makhluk lainnya, bahkan kepada Allah SWT melalui tasbih dan doa.

Mereka benar mengaplikasikan keimanannya, menjauhi kemaksiatan serta ber-mujahaddah untuk mencari bimbingan-Nya, akan menjadi kecintaan bagi makhluk di langit dan bumi serta kecintaan pula bagi Allah SWT.

Sering kali kita menyaksikan ketika bencana alam tiba, berduyun-duyun manusia sadar akan siapa dirinya. Namun, saat segalanya kembali normal, mereka lupa akan guncangan itu, dan sibuk dengan aktivitasnya kembali. Hanya mereka yang beriman dengan sebenar-benarnya yang memiliki kestabilan sikap.


Baca selanjutnya...

Selasa, 26 Mei 2009

Etos Kerja

Etos Kerja

Oleh Yusuf Burhanudin

Prestasi yang bernilai di sisi Allah adalah proses kerja seseorang. Allah SWT tidak melihat hasil tapi menilai proses, kesungguhan, dan kegigihan seseorang menggapai cita-cita dan memenuhi hajat hidup.

Firman-Nya, ''Dan katakanlah, 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.'' (QS At Taubah [9]: 105).

Rasul memuji orang yang gigih bekerja dan hidup mandiri dari hasil keringat sendiri. Sabdanya, ''Salah seorang kalian membawa seutas tali, lalu pergi ke gunung dan pulang dengan seikat kayu bakar di atas punggung lalu menjualnya sehingga Allah mencukupkan kebutuhannya, lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain, bisa dikasih bisa juga ditolak.'' (HR Bukhari).

Meminta bantuan orang lain, sifatnya kondisional dan sesaat yaitu ketika terdesak setelah berusaha. Yang terjadi kini, perilaku meminta-minta bukan ketika terdesak, tapi dijadikan kebiasaan dan lahan hidup.


Memohon belas kasihan orang, apalagi dijadikan profesi dan kebiasaan, termasuk perbuatan hina, bahkan merendahkan harkat dan martabat sendiri. Rasul memperingatkan, ''Siapa mengemis pada orang lain dari harta mereka untuk memperkaya diri, sungguh ia memungut kerikil neraka; apakah ia hendak menyedikitkannya atau memperbanyaknya.'' (HR Muslim).

Kebiasaan mengemis bukan semata-mata soal kemiskinan, tapi terkait krisis mentalitas dan etos kerja yang buruk. Buktinya, mengemis bukan monopoli kaum dhuafa, tapi juga melanda 'pengemis berdasi' yang kehilangan rasa malu dengan memohon jatah proyek sekalipun menghalalkan segala cara dengan menyuap dan berkolusi.

Inilah saat-saat di mana umat Islam kehilangan tiga hal utama sekaligus; kemandirian, tidak tahan banting ujian, dan terkikisnya rasa malu. Tiga hal pokok inilah yang secara bersamaan meruntuhkan posisi umat Islam sebagai umat terbaik, pilihan, sekaligus terbesar.

Surga menanti orang yang hidup mandiri dan tidak menggantungkan diri pada bantuan orang. Sabda Rasul, ''Penghuni surga ada tiga golongan; penguasa adil, jujur, dan terpercaya; orang yang baik hati pada kerabat dan sesama Muslim; dan orang (miskin) yang tak pernah mengemis sekalipun keluarganya mampu memberikan tanggungan.'' (HR Muslim)


Baca selanjutnya...

Senin, 25 Mei 2009

Refleksi Ibadah

Oleh Fauzi Bahreisy

''Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.'' (QS Adzdzariyat [51]: 56).

Inilah tujuan penciptaan manusia di dunia. Artinya, manusia tidak dicipta hanya untuk bermain-main, bersenda gurau, dan tanpa tujuan. Setiap Muslim menyadari benar tujuan hidupnya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT.

Karena itu, begitu semarak syiar-syiar ibadah dilakukan di berbagai tempat dalam komunitas umat Islam, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji, sampai ibadah ghayru mahdah yang lain.Namun, yang menjadi pertanyaan: sejauh mana ibadah tersebut dilakukan? Apakah sudah memenuhi tujuan yang dimaksud? Atau, baru sekadar ibadah ritual dan kewajiban formal belaka?

Terkait itu, Allah SWT berfirman, ''Katakanlah, 'Sesungguhnya aku hendak memperingatkanmu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kamu renungkan.'' (QS Saba' [34]: 46).Menurut Syeikh Muhammad Shaleh ibn Muhammad al-Utsaymin, ayat di atas berisi dua perintah. Pertama, perintah dan peringatan untuk menghadap Allah SWT dengan ikhlas dan benar. Kedua, perintah untuk merenungkan sejauh mana kualitas ibadah yang dilakukan.

Karena itu, dalam pandangan beliau, ketika ibadah telah dilakukan, tidak boleh cepat puas lantaran ibadah itu telah ditunaikan. Namun, perlu ada semacam refleksi. Misalnya, apakah ibadah itu telah sesuai petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya?! Apakah dilakukan penuh penghayatan?Lebih dari itu, apakah ibadah tadi memberikan dampak dan pengaruh positif dalam kehidupan? Ini sangat penting agar ibadah yang dilakukan tidak hanya menjadi adat dan kebiasaan semata.

Sebab, setiap ibadah yang ditunaikan secara benar pasti memberikan dampak dan pengaruh baik dalam kehidupan. Sebagai contoh, terkait shalat, Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya, shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar.'' (QS Al-Ankabut [29]: 45). Terkait puasa, Allah SWT berfirman, ''Agar kalian menjadi orang bertakwa.'' (QS Albaqarah [2]: 183). Terkait zakat, Allah SWT berfirman, ''Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka (dari sifat kikir dan cinta dunia).'' (QS Albaqarah [9]: 103).

Dengan demikian, perintah merenungkan ibadah secara tidak langsung adalah perintah untuk senantiasa mengoreksi, meluruskan, dan memperbaiki ibadah itu agar mencapai tujuan dan nilai-nilai mulia yang diinginkan-Nya. Sebab, ibadah yang baik pasti berbuah akhlak dan moral yang baik pula.


Baca selanjutnya...

Sabtu, 23 Mei 2009

Nikmat yang Terabaikan

Oleh Sri Lestari

Biasanya manusia baru bisa merasakan suatu kenikmatan bila kenikmatan itu hilang dari dirinya. Kita bisa merasakan nikmatnya kesehatan ketika sakit. Begitu berharganya segelas air putih bila kita di daerah gurun pasir, dan tersesat di dalamnya.Penghargaan terhadap tubuh yang dikaruniakan Allah SWT lebih terasa bila salah satu anggota tubuh kita melemah fungsinya. Bila penglihatan mata mulai kabur, barulah kita tersadar lalai merawatnya.

Kita seakan tersadar dari tidur panjang yang melalaikan. Semua hal dalam kehidupan ini dalam sekejap menjadi begitu berarti, bahkan hal yang dulunya begitu dibenci, menjadi begitu kita cintai.Rasulullah SAW sudah mengingatkannya, ''Ingatlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara. Muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, lapang sebelum sempit, kaya sebelum miskin, hidup sebelum mati. (Al Hadis).

Peringatan Rasulullah itu amatlah jelas dan bisa kita rasakan kebenarannya. Tapi, ada nikmat yang boleh dikatakan lebih tinggi dari yang telah disebutkan di atas, tapi banyak manusia tidak merasa kehilangan bila ia tidak ada pada diri kita, yaitu nikmat iman.

Allah SWT berfirman, ''Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, 'Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.'' (QS Alhujuraat [49]: 17).

Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya kemungkaran di sekitar kita. Bukankah telah hilang keimanan seseorang pada saat orang itu berbuat kemungkaran? Tidak mungkin seseorang dalam keadaan beriman bila tanpa rasa takut melakukan korupsi, mencuri, berdusta, berzina, dan sederet akhlak yang bertentangan dengan agama.

Banyak orang merasa cukup hanya berislam, padahal kedudukan iman lebih tinggi dari itu. Menurut Imam Nawawi, Islam adalah ungkapan pelaksanaan kewajiban, yaitu kepatuhan terhadap amalan lahir. Sedangkan iman adalah ungkapan pembenaran kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.

Allah SWT membedakan iman dan Islam sebagaimana terdapat dalam surah Alhujuraat [49] ayat 14. ''Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman. Katakanlah [kepada mereka]; 'Kalian belumlah beriman, tetapi katakanlah: 'Kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.''


Baca selanjutnya...

Jumat, 22 Mei 2009

Komitmen Niat

Oleh Muhammad Shofwan

Rasulullah SAW bersabda, ''Sungguh, hanya dengan niatlah, amal itu sah dan bagi setiap orang adalah apa yang diniatkannya. Barang siapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, ia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa hijrahnya untuk dunia yang ia kejar atau demi wanita yang ingin dinikahinya, ia berhijrah kepada apa yang ditujunya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Niat mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam beribadah. Segala tindak-tanduk yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari harus didasari dengan niat yang tulus dan penuh keikhlasan karena Allah SWT semata.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya, Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuh dan rupa kalian, tetapi Allah melihat hati kalian.'' (HR Muslim).

Hadis di atas menerangkan bahwa Allah SWT tidak melihat apa yang tampak dari kita, tetapi Allah SWT melihat hati kita. Maksudnya, Allah SWT melihat niat yang bersemayam di dalam hati setiap manusia. Hanya keikhlasan dan kemurnian niatlah yang Allah SWT terima di sisi-Nya.

Sesungguhnya, niat merupakan roh dalam amal. Seperti halnya jasad yang tak bernilai tanpa roh. Ia hanya tampak seperti bangkai yang tiada harga sedikit pun. Begitu juga amal, ia tidak akan bernilai tanpa niat. Segala amal yang dikerjakan tanpa niat tidak akan menghasilkan manfaat sedikit pun, hanya kesia-siaan semata.Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada amal bagi orang yang tidak berniat.''

Niat merupakan pengendali hati. Sebagaimana seekor kuda tidak akan terarah langkahnya tanpa tali kendali. Hati pun tidak akan lurus dalam mencapai suatu tujuan tanpa niat yang lurus.Itulah juga merupakan pengarah hati. Sebagaimana nakhoda yang berlayar di lautan luas, ia tidak akan mencapai pulau yang hendak dituju tanpa pengarah arah. Selain itu, niat juga awal suatu perjalanan. Nilai akhir suatu perjalanan sangat ditentukan oleh niat di awal perjalanan.

Meski begitu, terkadang ada perubahan niat di akhir perjalanan, dari niat yang baik berubah menjadi niat yang buruk di akhir perjalanan. Maka dari itu, kita diharuskan terus meng-update niat di awal, tengah, dan akhir perjalanan.

Dan, esensi niat yang sesungguhnya adalah meniatkan segala sesuatu karena Allah SWT semata. Abu Sa'id al-Khudry RA berkata, ''Makanlah karena Allah, berpakaianlah karena Allah, menikahlah karena Allah, dan tidurlah karena Allah. Maka, tidak akan ada sesuatu yang memudaratkanmu.'' Wallahu a'lam.


Baca selanjutnya...

Rabu, 20 Mei 2009

Mari Berbuat

Oleh Yodi Indrayadi

Dan katakan, ''Berbuatlah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat perbuatan kalian itu.'' (QS At-Taubah: 5).Jika Descartes, filosof Prancis, mengatakan, 'Cogito ergo sum' (aku berpikir maka aku ada), Islam justru mengatakan, ''Aku berbuat maka aku ada.'' Karena salah satu tujuan utama hidup manusia di dunia ini adalah untuk 'berbuat'.

Allah berfirman, ''Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik perbuatannya.'' (QS Al-Mulk:2).Dengan demikian, berarti-tidaknya hidup seseorang, berharga-tidaknya keberadaan seseorang, dinilai dari perbuatannya. Orang yang sering berbuat, maka hidupnya akan dihargai. Sementara orang yang tidak pernah berbuat, selamanya tidak akan pernah dihargai, baik itu oleh manusia maupun Allah.

Dan, siapkah hati kita menerima kenyataan bahwa kita adalah orang-orang yang tidak ada harganya? Allah menegaskan, ''Dan masing-masing mendapat derajat menurut apa yang telah mereka perbuat dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.'' (QS Al-Ahqaf: 19).



Islam tidak pernah membatasi bentuk dan jenis perbuatan apa yang harus dilakukan. Pun, tidak menentukan kepada siapa perbuatan baik itu ditujukan. Ini artinya, apa pun bentuk dan jenis perbuatan yang kita lakukan; kecil, besar, ringan, berat, sederhana, rumit, mudah, atau sulit; dan kepada siapa perbuatan itu ditujukan; kepada manusia, binatang, tumbuhan, sungai, laut, atau benda mati lainnya; asalkan baik dalam pandangan Allah, Rasulullah, dan kaum Mukmin, maka perbuatan itu akan mengangkat derajat kita di hadapan Allah dan manusia.

Bahkan, dalam ayat lain Allah menjelaskan bahwa, jika kita berbuat baik, tidak hanya derajat atau penghargaan yang akan kita dapat, namun juga kebahagiaan duniawi dan balasan pahala akhirat yang lebih baik.Allah berfirman, ''Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan baik, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.'' (QS An-Nahl: 97).

Kenyataan hidup membuktikan bahwa siapa menanam benih akan memetik buah. Karena itu, alangkah baiknya bila benih yang kita tanam adalah perbuatan baik. Ketika kita berbuat baik kepada orang lain, kepada makhluk lain, atau kepada benda-benda, pada hakikatnya kita sedang berbuat baik kepada diri kita sendiri. Begitu pula sebaliknya.

Baca selanjutnya...

Selasa, 19 Mei 2009

Terasing di Dunia

Oleh Arif Munandar Riswanto

Salah satu petuah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya tentang dunia adalah kita harus hidup di dunia bagaikan orang asing atau orang yang sedang menyeberang jalan. Rasulullah SAW bersabda, ''Tinggallah kamu di dunia seperti orang asing atau yang menyeberangi jalan.'' (HR Al-Bukhari).

Syaikh Al-Bassam menerangkan bahwa setiap orang pasti tidak akan rindu, tenang, dan nyaman di negeri asing. Ia tidak akan bersaing dengan penduduk asli untuk memuaskan keinginannya.Ia pun selalu berusaha untuk tidak melakukan peraturan yang menyalahi kebiasaan negeri asing tersebut. Karena, jiwanya selalu rindu dan ingin pergi ke kampung halamannya sendiri.

Begitupun dengan orang yang menyeberang jalan. Ia tidak akan merasa tenang kecuali jika telah sampai ke tempat asal dan berkumpul dengan orang-orang yang dicintainya. Agar keselamatannya terjaga, ketika menyeberang pun ia akan berhati-hati.


Negeri asing dan tempat menyeberang adalah dunia. Sedangkan negeri sendiri dan tempat tinggal hakiki adalah akhirat. Secara bahasa, dunia diambil dari kata dana-yadnu, yang berarti dekat atau rendah. Sedangkan akhirat berasal dari kata akhara-ya'khuru yang berarti terakhir.

Ini berarti, jika kita mengambil yang terakhir, maka yang dekat pasti teraih. Namun, jika kita hanya meraih yang dekat, yang terakhir belum tentu teraih. Jika akhirat diraih, dunia pasti tergapai. Namun, jika dunia saja yang digapai, akhirat pasti lepas.

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW mengumpamakan kehidupan dunia seperti orang yang kepanasan, kemudian berteduh di bawah pohon lalu pergi. ''Perumpamaanku dengan dunia seperti orang yang bepergian pada hari panas kemudian berteduh sebentar di bawah pohon lalu pergi dan meninggalkannya.'' (HR Ahmad).

Karena hanya sebagai tempat asing dan jalan untuk menyeberang, dunia berarti bukanlah tujuan. Jika dijadikan sebagai tempat tinggal, kita pasti tidak akan pernah sampai ke negeri sendiri, yaitu akhirat. Hal tersebut pun berarti bahwa segala kenikmatan yang ada di dunia, tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kenikmatan yang ada di akhirat.

Namun sayang, karena akhirat terasa jauh, kebanyakan manusia justru lebih senang hidup di negeri asing dan tempat penyeberangan jalan. Manusia lebih memilih kenikmatan dunia yang temporal daripada kenikmatan akhirat yang abadi dan tiada batas.Padahal, Allah SWT telah menerangkan, ''Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia.'' (QS Adhdhuha [93]: 4).

Baca selanjutnya...

Senin, 18 Mei 2009

Menyegerakan Sedekah

Oleh Irwan Kelana

''Jika mati seorang anak Adam maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang mendoakannya.'' (HR Muslim)

Dari hadis di atas, banyak hikmah yang bisa dipetik tentang bekal untuk mati dan agar pahala kita terus mengalir meskipun telah meninggal dunia. Satu di antaranya adalah sedekah atau amal jariyah dalam arti luas.

Rasulullah bersabda, ''Sesungguhnya pahala orang Mukmin yang menyusul amalnya setelah dia meninggal dunia adalah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak-anak saleh yang dia tinggalkan, atau mushaf (Alquran) yang dia wariskan, atau masjid yang dia bangun, atau rumah yang dia bangun untuk para ibnu sabil, atau kali yang dia alirkan untuk kepentingan umum, atau sedekah yang dia keluarkan dari hartanya pada waktu sehat dalam hidupnya, akan menyusul amalnya sesudah matinya.'' (HR Ibnu Majah)

Merujuk pesan Rasul tersebut, banyak hal yang bisa disedekahkan. Seperti, mewariskan mushaf Alquran, membangun masjid, membangun rumah yatim piatu/tempat singgah untuk ibnu sabil, membangun fasilitas umum yang diperlukan, dan sedekah berupa harta yang dikeluarkan pada waktu sehat.

Di sini ada yang sangat perlu kita garis bawahi, yakni pentingnya mengeluarkan sedekah pada waktu sehat. Banyak orang yang berniat sedekah, tapi menunda hingga umur beranjak tua. Ada juga yang berniat sedekah, namun jika sudah mendekati ajalnya. Bahkan, ada yang berniat sedekah kalau dia sudah mati.

Hadis Rasulullah SAW berikut ini patut kita renungkan, ''Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, 'Ya Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?' Beliau bersabda, 'Bahwa engkau bersedekah ketika engkau masih sehat dan segar bugar, ketika masih memiliki kekayaan dan sangat khawatir terhadap kemiskinan, dan jangan ditunggu-tunggu hingga napasmu sampai ke tenggorokan. Ketika itu engkau akan berkata, 'Untuk si fulan sekian ... untuk si fulan sekian. Padahal, harta tersebut sudah menjadi hak si fulan (ahli waris).'' (HR Bukhari, dari Abu Hurairah ra)

Jadi, alangkah keliru orang yang baru berniat sedekah, tapi terus menunda-nunda pelaksanaannya. Betapa pun melimpah harta tersebut, rumah, mobil, saham, deposito, tanah, uang, dan sebagainya yang bernilai ratusan juta bahkan miliaran rupiah, namun semua itu bukanlah miliknya lagi jika sudah meninggal. Semua itu adalah milik istri/suami dan anak-anaknya, milik ahli warisnya. Setelah harta itu dibagi sesuai dengan hukum waris, terserah hendak diapakan harta tersebut.

Semoga Allah membimbing kita agar menjadi orang-orang yang gemar bersedekah dan selalu menyegerakan sedekah. Amin.


Baca selanjutnya...

Detik Penuh Ibadah

leh Andy Sulistiyanto

Hendaknya tiada detik yang terlewatkan tanpa bermakna ibadah. Seorang Mukmin akan bahagia manakala dapat beribadah kepada Allah SWT dengan benar. Mengkaji nilai-nilai Alquran, mendirikan shalat berjamaah, dan mengeluarkan harta di jalan Allah SWT menjadi hiasan amalnya.

Hidup bukan sekadar hidup, tak sekadar makan, minum, bekerja, dan berkeluarga. Hidup sesungguhnya adalah detik-detik ibadah, penghambaan diri kepada Allah SWT dalam rambu-rambu-Nya demi meraih keridhaan Illahi.

Dengan ketekunan beribadah seperti itu, maka hati orang-orang beriman begitu sensitif. Bila disebut nama Allah SWT bergetar hatinya, dan bila dibacakan asma Allah SWT, bertambah keimanannya. Ia mudah menangis ketika mengingat dosa-dosanya, takut akan azab-Nya, bangun bertahajud di keheningan malam, karena ingin menjadi kekasih-Nya.


''Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal, yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki yang mulia.'' (QS Al-Anfal [8]: 2-4).

Getar resonansi hati seorang Mukmin selalu memantulkan gema kebaikan dalam tutur kata maupun perbuatan. Imannya penuh kehalusan, meski atas suatu sinyal kecil sekalipun. Menjadikan imannya selalu bertambah tatkala uraian taklim disampaikan.

Sedemikian kerasnya sinyal Ilahi itu merasuk ke dalam jiwa seorang Mukmin, sehingga hati menjadi gembira, penuh cinta dan semangat hidup. Pun bila seorang Mukmin disodorkan Alquran, jiwanya pasti terpanggil menata kehidupan dengannya.

Bukan itu saja, refleksi dari semua itu adalah munculnya kesungguhan, kekhusyukan, dan keseriusan beribadah dan beramal saleh. Itu karena jiwanya sudah tertanam betapa Allah SWT begitu dekat, sedemikian dekat, sehingga terasa dalam kebersamaan sekaligus mengawasi setiap amaliyah sehari-hari.

''Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya. Menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna dan menunaikan zakat. Mereka itulah yang akan mewarisi surga firdaus dan mereka kekal di dalamnya.'' (QS Almukminun [23]: 1-12).

Baca selanjutnya...

Jumat, 15 Mei 2009

Emosi

Oleh Sigit Indrijono

''(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu.'' (QS Alhadiid [57]: 23).

Allah SWT telah memberi karunia kepada manusia berupa perasaan hati atau emosi. Saat menghadapi berbagai macam situasi dan kondisi, secara naluri, emosi akan bereaksi. Ayat di atas memberikan petunjuk agar emosi diekspresikan secara benar.

Hanya keteguhan iman yang akan membuat seseorang bisa mengendalikan emosi dengan izin Allah SWT. Sehingga, semua qadha dan qadar-Nya akan diterima dengan ridha. Baik itu yang sesuai dengan keinginan maupun yang tidak sesuai.

Allah SWT mahamengetahui apa yang baik untuk kita. ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.'' (QS Albaqarah [2]: 216).

Apa pun yang terjadi, akan direspons secara positif dengan mengedepankan sikap sabar dan syukur. Ketenangan dan ketenteraman hati dirasakan. Tidak timbul kekecewaan, kegelisahan, kecemasan, dan kekhawatiran, karena yakin bahwa Allah SWT selalu menyertai kita.

Disadari bahwa kegagalan bersama keberhasilan, kekalahan bersama kemenangan, adalah siklus yang akan terus berputar. ''Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.'' (QS Annajm [53]: 43).

Tertawa dan menangis adalah ekspresi dari emosi yang bereaksi. Tertawa berlebihan akan mematikan hati nurani. Tertawa yang baik adalah yang dicontohkan Rasulullah SAW. ''Aku tidak pernah melihat Rasulullah berlebih-lebihan ketika tertawa hingga terlihat langit-langit mulut beliau. Sesungguhnya (tawa beliau) hanyalah senyum semata.'' (HR Bukhari).

Rasulullah SAW bersabda, ''Dua mata yang tidak akan terkena api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah.''

Menangis yang dimaksud dalam hadis di atas bukan tangis cengeng tanda putus asa. Tapi, menangis karena Allah SWT, yang merupakan indikator kelembutan hati dan kepekaan jiwa. Tangisan yang ditimbulkan oleh getaran-getaran keimanan dalam sanubari.


Baca selanjutnya...

Kamis, 14 Mei 2009

Bijak Menghadapi Masalah

Oleh Afthonul Afif

Kehidupan selalu memiliki dua sisi yang berbeda. Ada siang, ada malam. Ada laki-laki, ada perempuan. Ada baik, ada buruk. Ada keberuntungan, ada kemalangan. Ada kebahagiaan, ada kesedihan. Dan, masih banyak lagi contoh yang lain.

Allah SWT pasti punya maksud baik menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan. Hanya saja, kita sering melupakan dan tidak berusaha mencari makna di balik hukum Allah SWT tersebut.

Sebut saja, kita cenderung lebih siap untuk merasakan kebahagiaan dan menerima keberuntungan, daripada merasakan kesedihan dan menghadapi kemalangan. Hal ini tentu sangat manusiawi.

Namun, harus juga dipahami bahwa kita baru benar-benar berhak atas kebahagiaan hakiki jika mampu mengatasi dan menerima segala sesuatu yang menjadi sumber ketidakbahagiaan itu sendiri.

Allah SWT akan mencintai hambanya yang kuat dan tabah dalam menghadapi segala permasalahan hidup. Dalam setiap ketabahan umat-Nya, ada kompensasi setimpal yang layak diterima, sebagaimana dituturkan sebuah hadis berikut.
''Setiap keletihan, penyakit, kegelisahan, kesedihan, perlakuan jahat, dan kegalauan yang menimpa seorang Muslim, hingga duri yang menusuknya sekalipun, semua itu akan menyebabkan Allah menghapuskan kesalahan (dosa-dosanya).'' (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad).

Namun, bagi pribadi yang bijak, janji Allah SWT di atas bukanlah tujuannya. Janji Allah SWT hanyalah buah dari keikhlasan, kesabaran, dan ketabahannya dalam menerima setiap takdir yang dititahkan-Nya. Jika kita ikhlas, sabar, dan tabah, musibah seberat apa pun akan terasa ringan, karena kita yakin Allah SWT selalu bersama kita.

Keikhlasan dan kesabaran Nabi Ayub AS dalam menanggung penyakitnya, ketabahan Nabi Musa AS dalam menghadapi penindasan Firaun, kiranya dapat menjadi teladan kita untuk lebih sabar dan ikhlas dalam menerima dan menghadapi setiap permasalahan kehidupan.

Patut kita renungkan, andai kata kehidupan ini hanya memiliki satu sisi, dan meniadakan sisi yang lainnya, tentu kita tidak akan tumbuh menjadi hamba yang bijaksana. Sebab, kita hanya mungkin mengetahui kebaikan dan kebahagiaan, hanya ketika kita juga mengetahui bahwa ada keburukan dan kesedihan dalam hidup ini.

Memang, bukan persoalan mudah menjadi pribadi yang bijaksana di tengah kehidupan yang cenderung menempatkan sukses material sebagai satu-satunya indikator kebahagiaan seperti sekarang ini. Tapi, jika kita meyakini kekuasaan dan kasih sayang Allah SWT, hal itu bukanlah persoalan yang mustahil.


Baca selanjutnya...

Rabu, 13 Mei 2009

Sebelum Hati Menjadi Keras

Oleh M Arif Assalam

Ketika hujan turun, di sebagian tempat, air hujan menggenang di atas tanah. Di bagian tempat lain, air hujan menyusup masuk ke dalam tanah.

Air yang tergenang di atas tanah, setelah beberapa lama akhirnya mengering oleh panasnya matahari. Adapun tanah yang menyerap air, menjadi semakin subur, lembut, dan tumbuh darinya berbagai jenis tumbuhan dan tanaman.
Tanah yang keras seperti batu, tidak akan bisa menyerap air, karena tidak memiliki celah-celah yang bisa dimasuki air. Sedangkan tanah gembur, dapat dengan mudah menyerap air.

Demikian perumpamaannya. Hati yang lunak dan lembut, akan mudah menerima petunjuk dan kebenaran. Ia akan terbuka dan berlapang menerima nasihat dan kebaikan.

Di dalam hati yang lunak dan lembut, bibit kebaikan memang telah ada dan selalu dirawat pemiliknya, sehingga petunjuk dan kebenaran mendapat celah untuk masuk ke dalam hati.

Adapun hati yang keras bagai batu, sangat sulit menerima petunjuk dan kebenaran. Hati jenis ini telah dikuasai oleh kesombongan dan keangkuhan. Ia menolak kebenaran, hingga berapa pun petunjuk yang datang kepadanya, tidak akan bermanfaat. Pintu hatinya telah tertutup oleh kesombongannya sendiri.

''Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.'' (QS Albaqarah [2]: 6-7).

Dalam kehidupan yang kita jalani, sebagian orang ketika datang padanya kebenaran, ia dengan angkuh menolak dan berkata, ''Saya adalah paling benar, pendapat Anda salah.'' Maka, berbicara pada orang seperti ini, tidak akan ada gunanya, karena ia sendiri yang telah menutup pintu hatinya untuk menerima tamu kebenaran.

Amatlah disayangkan sikap orang-orang yang selalu menolak kebenaran dan petunjuk. Karena penolakan mereka, sesungguhnya akan mengantarkan pada kebinasaan dan kehancuran di dunia dan akhirat.

Sebelum hati menjadi keras seperti batu, dari awal kita harus selalu merawatnya, menjaga kesuburannya dengan membiasakan mendengarkan Alquran dan men-tadabburi-nya. Lainnya, membaca sirah Rasulullah SAW, para sahabat dan orang-orang saleh, mengingat mati dan bergaul dengan orang-orang saleh yang setiap kata-kata mereka mengandung manfaat dan kebaikan.

Karena, bila hati telah keras, bagaimanakah cahaya petunjuk akan dapat diterima? Bagaimanakah guyuran hujan kebenaran akan dapat diserap dan dipahami? Dan sebelum itu terjadi, sebelum Allah SWT menutup mata hati, mari kita rawat bibit kebaikan dalam diri.


Baca selanjutnya...

Selasa, 12 Mei 2009

Tujuan Hidup

Oleh: Suwendi

''Hendak ke mana kalian?'' Pertanyaan kerap dikemukakan terutama guna menjawab visi dan misi hidup manusia. Orang yang tidak punya visi dan misi dalam hidupnya, cenderung menjawab tanpa arah dan tanpa nilai.

Prof Dr M Quraish Shihab dalam salah satu literaturnya (1990) menyajikan sebuah kesulitan yang dialami oleh seorang orientalis kenamaan, A Carell, ketika mencari jawaban menyangkut eksistensi manusia.

Persoalan eksistensi manusia merupakan agenda yang sangat sulit dipecahkan. Karena itu, perlu dicari jawabannya melalui pendekatan lain.

Islam mengenal dua fungsi yang melekat secara ex-officio pada diri manusia. Pertama, fungsi kehambaan (abid) secara personal kepada Tuhannya. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan (Khaliq) sehingga berkewajiban berterima kasih kepada-Nya.


Ia mesti patuh dan tunduk apa pun ketentuan Allah SWT. Siapa yang melanggar, maka akan mengingkari hakikat dirinya, yang dalam bahasa keagamaan disebut kufr.

Penyerahan diri kepada Tuhan, dalam banyak hal tidak mengedepankan validitas secara rasional. Karenanya, jika dinyatakan dalam bentuk garis, fungsi kehambaan digambarkan garis vertikal, dengan posisi Tuhan berada di atas, sedangkan manusia di bawah.

Perlu dicatat bahwa bentuk-bentuk kehambaan ini punya muatan dan fungsi-fungsi sosial, yang perlu diimplementasikan secara nyata. Sebab, yang membutuhkan penyembahan manusia bukanlah Tuhan, tapi manusia itu sendiri.

Kedua, fungsi manusia sebagai khalifah alam raya. Sebagaimana makna asal katanya, khalifah di sini dipahami sebagai wakil Tuhan untuk mengurus, mengelola, mengayomi, memakmurkan, dan memanfaatkan segala isi yang ada di muka bumi.

Selain itu, fungsi kekhalifahan juga menegaskan secara meyakinkan akan terbentuknya tatanan pranata sosial yang adil, demokratis, setara, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Antara satu dan lainnya memiliki relasi yang sama besar dan sama kuat.

Di antara mereka tidaklah dianggap sebagai subordinasi. Karena itu, secara historis-sosiologis, kehidupan keduniaan harus didasarkan atas kevalidan secara rasional. Jika diwujudkan dalam bentuk gambar, terbentuk garis horizontal, ujung satu dengan lainnya adalah manusia yang memiliki relasi kesejajaran.

Kedua fungsi di atas harus dapat disinergikan secara seimbang. Tuntutan kehambaan harus dapat diwujudkan secara seimbang dengan tuntutan kekhalifahan. Belum dianggap sebagai orang yang baik (insan kamil) jika hanya mampu menjalankan fungsi-fungsi kehambaannya sedangkan fungsi sosial-kemanusiaan terbengkalai. Begitu pula sebaliknya.

Baca selanjutnya...

Senin, 11 Mei 2009

Rasa Malu

Oleh Agus Iswanto

''Keimanan itu 70 atau 60 lebih cabangnya. Yang paling tinggi ialah mengucapkan La Ilaaha illallah. Dan, yang paling rendah adalah menjauhkan duri dari jalan. Malu itu adalah salah satu cabangnya pula.'' (HR Abu Hurairah).

Perasaan malu selalu membawa kebaikan. Demikian kandungan sebuah sabda Rasulullah SAW yang lain.Hal itu terwujud manakala kita telah beriman dan mengenal Allah SWT, bahwasanya Dia-lah Allah SWT yang telah menciptakan diri dan alam yang kita tempati ini.

Allah SWT juga menurunkan rahmat dan nikmat-Nya yang tak pernah putus kepada manusia, baik berupa benda-benda yang bisa dimanfaatkan, rahmat, maupun nikmat akal pikiran yang sehat, pengetahuan, iman, serta takwa.

Dengan rasa syukur terhadap rahmat dan nikmat-Nya itu pula, kita akan selalu menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT menurunkan rahmat dan nikmat karena cinta yang mahaluas terhadap hamba.


Maka, tidaklah pantas jika kita sebagai hamba-Nya untuk tidak mencintai Allah SWT. Dan, wujud cinta itu sudah tentu dengan senantiasa menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Di samping menumbuhkan rasa cinta dan takut, kita juga harus dapat menumbuhkan rasa malu dalam diri kita, yakni malu karena tidak menjalankan perintah Allah SWT dan melanggar larangan-Nya.Malu bila kita tidak ingat atau lupa terhadap Allah SWT dan juga malu bila kita kurang mempunyai rasa syukur dan terima kasih kepada-Nya.

Malu itu berbeda dengan rendah diri atau minder, yang selanjutnya dapat menimbulkan sikap pesimistis. Malu dalam bahasa Arab adalahal-haya', yang makna harfiahnya adalah hidup.Hal tersebut dapat dipahami dengan dua makna. Pertama, manusia adalah makhluk hidup yang sempurna atau manusia seharusnya mempunyai rasa malu.

Kedua, seharusnya rasa malu selalu menumbuhkan dan menghidupkan rasa syukur kita terhadap nikmat dan rahmat Allah SWT. Jika tidak lagi punya rasa malu, manusia akan cenderung melakukan apa saja dan semaunya. Begitu tegas Nabi SAW berpesan.

Jika rasa malu hilang, manusia akan selalu mengikuti hawa nafsu meskipun melanggar perintah dan larangan Allah SWT. Demikianlah, problematika sosial di keseharian yang tampaknya juga disebabkan oleh hilangnya akhlak malu ini.

Baca selanjutnya...

Rabu, 06 Mei 2009

Menjaga Wudhu

Oleh Puji Lestari

Tak ada ajaran seindah tuntunan Islam. Tak ada yang lebih rinci dan sempurna mengatur kehidupan seorang hamba, selain agama penuh berkah dan rahmat ini.Tiap perintah maupun larangan-Nya, selalu mengandung hikmah yang tak akan habis untuk dikaji, tak akan kering untuk senantiasa diselami. Dan, wudhu adalah salah satunya, yang hanya merupakan 'secuil' perintah namun kaya akan faidah.

Seorang Muslim kaffah , minimal lima kali dalam sehari membasahi dirinya dengan air wudhu. Jika untuk menghadapi seorang manusia kita mensyaratkan diri harus bersih dan rapi, apalagi jika yang akan kita hadapi adalah Allah SWT melalui shalat.Bukan hanya kebersihan dan kesucian yang terjaga. Dengan wudhu, dosa-dosa kecil pun akan luruh bersama tetesan air yang jatuh. Subhanallah .

''Jika seorang Mukmin berwudhu (dengan membasuh mulut, hidung, muka, tangan, kepala, telinga, dan kakinya), keluarlah dosa dan kesalahannya dari mulut, hidung, muka, tangan (sampai dari ujung jari-jarinya), kepala, telinga, dan kakinya (sampai dari ujung jari-jari kakinya).'' (HR Malik, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).Bersikap berlebihan dalam segala hal adalah sikap tercela. Tapi untuk amalan satu ini, tidak. Sebuah teladan masyhur dari seorang budak Habsyi yaitu Bilal bin Rabah, manakala terompahnya telah menanti tuannya di surga.


Ini adalah karena amalan yang tampak sepele dan ringan, namun ternyata hanya menyapa jiwa-jiwa yang benar-benar ingin mempunyai nilai lebih di mata Allah. Itu karena menjaga wudhu.Tak setiap amal kebaikan dapat dilakukan manusia. Banyak keterbatasan yang menjadikan manusia harus pandai-pandai mengenali potensi diri, dan menyumbangkannya untuk kebaikan sesama. Inilah bukti kesyukuran.

Si kaya yang saleh tentu ringan saja bersedekah, si cerdik pandai pasti mudah membagi ilmu, si kuat tentu gampang selalu turun membantu. Tiap diri pasti dibekali keunikan, dan pasti pula itu berarti tiap orang punya peluang untuk memiliki spesialisasi amal.

Inilah keadilan Allah SWT. Dan bagi si papa lagi lemah, yang belum berkesempatan menimba banyak ilmu dan mengajarkannya, maka menjaga wudhu, seperti halnya Bilal, adalah solusi terpuji. Yang diangkat ke hadapan Allah SWT adalah keikhlasan dan kesabaran beramal, bukan besar kecilnya perbuatan dipandang manusia.

Wudhu yang senantiasa terjaga, yang dikerjakan tidak hanya menjelang shalat, akan memberikan efek bagi jiwa. Ia umpama alarm yang menegur seseorang untuk selalu menjaga diri dari dosa dan maksiat.

Tak sekadar dampak duniawi. Di akhirat pun, ketika tiap manusia dalam keadaan letih yang sangat, dan ketakutan yang mencekam. Dia yang wudhunya selalu terjaga, akan mudah dikenali oleh Rasul SAW tercinta sebagai umatnya.
Baca selanjutnya...

Bacalah dengan Nama Tuhanmu

Oleh Fauzi Bahreisy

''Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan.'' (QS Al-'Alaq [96]: 1). Dari posisinya sebagai wahyu pertama serta dari cara Jibril menyampaikan kepada Rasulullah SAW, ayat ini memiliki kedudukan istimewa. Ia berisi pesan-pesan fundamental yang diberikan kepada Rasulullah SAW secara khusus dan umatnya secara umum.

Di antaranya, pesan untuk 'membaca'. Pesan ini sangat penting agar manusia memfungsikan sejumlah perangkat indrawi yang Allah SWT anugerahkan, seperti penglihatan, pendengaran, hati, dan akalnya secara optimal.
Itulah perangkat utama untuk membaca tulisan yang terdapat dalam kitab ataupun di jagad raya. Dari sini, manusia menjadi cerdas, berpengetahuan, dan berwawasan luas.

Hanya saja, proses membaca itu harus disertai spirit mulia. Sebab, banyak orang cerdas sesudah membaca, tidak memberikan manfaat apa-apa. Bahkan, tidak jarang pengetahuan dan kecerdasan yang dimilikinya digunakan untuk menipu, menjerat, memperdaya, memanipulasi, dan mendatangkan bahaya.

Karena itu, Allah SWT menyatakan, ''Bacalah dengan nama Tuhanmu.'' Artinya, tidak boleh hanya sekadar membaca. Tapi, proses membaca tadi harus dilakukan karena Allah SWT dan untuk-Nya. Inilah pesan selanjutnya yang bisa diambil dari ayat di atas. Ini pula yang seharusnya menjiwai proses penelaahan, penalaran, pengamatan, dan pembelajaran oleh seorang Muslim. Dirinya harus selalu terkait dengan Allah Sang Pencipta.

Bahkan, Syekh Abdul Halim Mahmud berkata, ''Dengan kalimat Iqra' bismi Rabbik, sebenarnya Alquran tidak hanya memerintahkan manusia membaca. Sebab, membaca hanya sekadar lambang dari segala aktivitas manusia.''Ayat itu seolah ingin menyatakan, ''Bacalah dengan nama Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu. Begitu pula, bila Anda berhenti bergerak, hendaknya itu juga karena Tuhanmu. Dengan demikian, ayat itu mengarahkan manusia agar menjadikan seluruh hidup, wujud, cara, dan tujuannya adalah karena Allah SWT.''

Apa pun profesi dan pekerjaan manusia, apa pun jabatan dan kedudukannya, apa pun bidang yang ditanganinya, harus senantiasa terkait dengan Allah SWT dan ridha-Nya. Di sinilah kita memahami, mengapa Rasulullah SAW selalu memulai aktivitas kebaikannya dengan menyebut nama Allah SWT (basmalah). Tidak ada yang boleh terlepas dari-Nya.Totalitas hidup Muslim hanya dipersembahkan untuk-Nya. ''Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam'.'' (QS Al-An'am [6]: 162).


Baca selanjutnya...

Agama Itu Nasihat

Oleh Ali Farkhan Tsani

Begitu pentingnya nasihat, hingga Rasulullah SAW mengatakan, ''Agama itu adalah nasihat.'' Kami (para sahabat) bertanya, ''Untuk siapa Wahai Rasulullah?''Beliau menjawab, ''Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh umat Islam.'' (HR Muslim).

Memberi dan menerima nasihat, sejatinya berlaku untuk segenap manusia, siapa pun orangnya, apa pun jabatannya, tanpa terkecuali. Nasihat yang berdasarkan Allah SWT dan Rasul-Nya, berlaku untuk para pemimpin umat Islam dan masyarakat pada umumnya. Ini mengingat manusia tidak luput dari lupa dan salah.

Kata nasihat berasal dari akar kata nasaha yang artinya menjahit atau menambal pakaian yang sobek. Maka, orang yang mau menerima nasihat, pada hakikatnya adalah dirinya siap untuk ditambal lubang kekurangannya, dijahit atau ditutup sobekan kesalahan pada dirinya.Sebaliknya, orang yang tidak mau menerima nasihat menunjukkan bahwa dirinya merasa telah sempurna, merasa tidak ada lubang-lubang kesalahan sedikit pun, serta merasa tidak punya celah kekurangan.

Memberi nasihat kepada orang lain berupa teguran positif dan saran konstruktif berarti menepati sunah Rasulullah SAW. Nabi SAW sendiri memberikan teladan bagaimana beliau bersikap terbuka menerima input (saran masukan) dari kalangan sahabat-sahabatnya yang memberikan pandangan, terutama dalam persoalan yang bukan wahyu.

Sebagai contoh, betapa keterbukaan baginda Nabi SAW ketika bersedia menerima pandangan seorang sahabat biasa yang memberikan saran agar Nabi SAW mengubah lokasi pasukan ke tempat yang lebih strategis di dekat mata air. Saran ini diterima oleh Nabi SAW demi kemaslahatan perjuangan.Berkenaan dengan itu, Imam Malik menegaskan bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi pemimpin umat adalah adanya kesediaan dan keterbukaan menerima teguran umat dengan ikhlas karena Allah SWT.

Memang, menerima nasihat, saran, dan teguran tidaklah mudah, karena di samping rasa malu, kekurangannya terlihat orang banyak, juga perasaan gengsi atau menjaga wibawa. Padahal, dengan tidak mau disempurnakan itulah, bisa jadi sobekan kekurangannya akan bertambah lebar.Bersyukurlah kita sebagai umat beragama yang masih mau menerima nasihat kebaikan dari orang lain. Hal itu adalah bagian dari penyempurnaan keagamaan kita sebagai makhluk Allah SWT.

Dengan saling menasihati di antara sesama, maka kita akan banyak memperoleh mutiara-mutiara hikmah yang sangat bermanfaat dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, dan berbangsa.


Baca selanjutnya...

Selasa, 05 Mei 2009

Ujian Kekuasaan

Oleh Yodi Indrayadi

Rasulullah SAW bersabda, ''Kelak, kalian akan tergila-gila dengan kekuasaan. Padahal, kekuasaan akan membuahkan penyesalan di hari kiamat. Nikmat di awal, sengsara di akhir.'' (HR Bukhari).Hadis tersebut merupakan nubuwat Rasulullah SAW, yang mungkin sekarang terjadi, sekaligus teguran agar sebaiknya orang Mukmin menghindari kekuasaan. Sebab, pada umumnya kekuasaan hanya akan mengakibatkan kesengsaraan, baik itu di dunia maupun akhirat.

Saat kekuasaan ada di genggaman, segala kenikmatan datang: wibawa, kekayaan, penghormatan, pujian, dan sebagainya. Namun, tatkala kekuasaan lenyap, maka lenyap pula segala kenikmatan itu, bahkan mungkin berganti dengan kesengsaraan: dituntut di hadapan manusia atau Tuhan. Inilah yang dimaksud Rasulullah SAW dengan ''Nikmat di awal, sengsara di akhir.''

Namun demikian, bukan berarti kekuasaan tidak boleh didekati. Dalam hal ini, Rasulullah SAW memberi batasan, ''Sebaik-baik sesuatu adalah kekuasaan bagi orang yang mengambilnya dengan hak. Dan, seburuk-buruk sesuatu adalah kekuasaan bagi orang yang mengambilnya tanpa hak, dan itu akan membuatnya menyesal di akhirat.'' (HR Thabrani).


Suatu ketika Abu Dzar berkata kepada Rasulullah SAW, ''Wahai Rasulullah, tidakkah engkau berniat mengangkatku?'' Rasulullah SAW menjawab, ''Engkau ini lemah. Sedangkan kekuasaan adalah amanah. Kekuasaan akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan kewajibannya.'' (HR Muslim).

Imam Nawawi berkata, ''Ini adalah dasar hukum untuk menjauhi kekuasaan, terutama bagi orang yang lemah, yakni orang yang tidak memiliki kecakapan dan integritas ( 'adl ). Bila ia mendekati kekuasaan, ia akan menyesal dan mendapat kehinaan di akhirat, atas apa yang telah ia sia-siakan (selama memegang kekuasaan). Sedangkan bagi orang yang cakap dan mampu menjaga integritas, maka kekuasaan itu akan menjadi ladang pahala yang besar.''

Kekuasaan memang bisa membuat orang lalai. Siapa pun yang bersentuhan dengannya, jika tidak kuat iman, akan menjadi lupa diri. Yang berhasil meraihnya boleh jadi akan bertindak semena-mena. Dan, yang tidak berhasil meraihnya pun, mungkin bisa menjadi 'gila'.Mungkin, sabda Rasulullah SAW berikut perlu kita renungkan, ''Kekuasaan, pertamanya adalah perebutan, selanjutnya adalah penyesalan, dan akhirnya adalah siksaan akhirat, kecuali bagi orang yang mampu menjaga integritas.'' (HR Bazzar dan Thabrani).

Baca selanjutnya...

Senin, 04 Mei 2009

Orientasi Ibadah

Oleh Nawawi Efendi

Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa tujuan diutusnya Rasulullah SAW kepada manusia hanyalah untuk memperbaiki akhlak. Demi tujuan inilah, Rasulullah SAW memperjuangkan Islam dengan berseru kepada manusia untuk berbuat yang baik (ma'ruf) dan melarang perbuatan keji (mungkar).

Shalat, zakat, puasa, dan haji hanyalah ritual ibadah wajib, namun sesungguhnya merupakan sarana menuju perbaikan akhlak sesuai misi Rasulullah SAW di atas. Maka, sungguh naif seorang Muslim yang sudah melaksanakan ibadah tersebut, tapi perilakunya masih jauh dari nilai-nilai Islami.

Berbohong menjadi kebiasaannya. Bahkan, korupsi masih dianggap hal yang sepele. Keislamannya hanya terlihat di dalam masjid. Di luar masjid, setelah melaksanakan shalat, nilai-nilai Islam itu mulai ditinggalkan.

Di sinilah masalahnya. Jika seorang Muslim tidak mempunyai orientasi yang jelas dari semua ibadah yang dilakukan, ia tidak akan pernah merasakan manisnya ibadah itu sendiri. Ia masih menganggap ibadah sebagai formalitas ritual semata. Kalau dikerjakan, ia mendapat pahala dan kalau ditinggalkan, ia mendapat dosa.

Allah SWT berfirman, ''Hai, orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.'' (QS Albaqarah [2]: 183).

Bagian terakhir ayat di atas menyebutkan, ''...agar kamu bertakwa.'' Artinya, orientasi sesungguhnya dari ibadah puasa adalah menjadi orang yang bertakwa. Dan, orientasi ini tidak terbatas pada ibadah puasa semata, tapi semua ibadah lainnya.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa perbaikan akhlak dan menjadi orang yang bertakwa adalah dua orientasi utama dari semua ritual ibadah. Sebagai umat Islam, kita harus mengiringi kedua orientasi itu dalam setiap ibadah. Sebab, kalau tidak, motivasi untuk beribadah akan turun dan yang dirasakan hanya keterpaksaan.

Yang juga ditakutkan, manakala mengira telah beribadah kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, sebenarnya ibadah itu tidak bernilai apa pun di sisi-Nya. Allah berfirman, ''Katakanlah, apakah akan kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.'' (QS Alkahfi [18]: 103-104).
Kesia-siaan ibadah yang dilakukan bisa jadi karena tidak disertai keikhlasan atau karena salah satu rukun dan syaratnya tidak dipenuhi. Semua itu disebabkan oleh satu hal, yaitu tidak adanya orientasi dalam ibadah.

Bila seorang Muslim mempunyai orientasi yang jelas dari semua ibadahnya, pasti akan berusaha keras agar ibadah itu diterima sehingga ibadahnya tidak sia-sia. Dan, sebagai umat yang beriman, tentu akan lebih berbangga jika esensi dari semua ibadah itu dapat terimplementasikan dalam tingkah laku sehari-hari.
Baca selanjutnya...

Sabtu, 02 Mei 2009

Hidup yang Termotivasi

Oleh Rian Hidayat El-Padary

''Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.'' (QS Azzumar [39]: 53).
Alam ini dinamis dan manusia hanya dapat hidup tenteram jika mengikuti kedinamisan alam. Alam ini terus berubah, maka hanya manusia yang ber-harakah, yang bisa bersinergi dengan alam.

Dalam menjalani kedinamisan alam, tentu kita harus memiliki motivasi yang tinggi agar tidak terempas dari peradaban. Jika hamba dikaruniai semangat yang besar, dia akan berjalan di atas jalan keutamaan dan akan menaiki tangga dalam derajat yang tinggi.

Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat rupa-rupa kalian, melainkan Dia hanya melihat amal dan hati kalian.'' (HR Abu Hurairah).


Semangat dan motivasi adalah pusat penggerak, yang membentuk kepribadian, dan yang mengawasi organ-organ tubuh. Semangat adalah bahan bakar jiwa dan kekuatan yang berkobar-kobar, yang akan menggerakkan pemiliknya untuk melompat tinggi dan memburu nilai-nilai kemuliaan.

Motivasi itu terbagi dua. Motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang lahir dari dalam (intrinsik) tentu jauh lebih besar pengaruhnya jika dibandingkan motivasi buatan yang dibuat-buat dari luar (ekstrinsik).

Setiap perbuatan pasti didasari oleh motivasi tertentu. Teori-teori dasar dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) semuanya mengenai motivasi, mulai dari teori Kebutuhan Maslow, teori Keadilan, teori Harapan, dan sebagainya. Benang merah dari semua itu adalah tak mungkin ada perbuatan yang terjadi tanpa dilandasi motivasi apa pun.

Dalam kaitan ini, karena hidup itu dinamis, tidak selamanya kita berada di puncak motivasi. Tapi bagi para pejuang, dalam letih pun mereka akan tetap tersenyum. Karena, apa yang ditunaikan menjadi jaminan bermaknanya usia dan bermanfaatnya kehidupan. Untuk itu, tiap jerih akan dibalas dengan surga-Nya.

Siapa yang tidak memiliki semangat surgawi, semangat untuk meraih ridha akan keesaan Allah SWT, maka setan akan menyibukkannya dengan aktivitas berpola negatif. Pribadi yang panjang angan serta mengisi usia dengan berfoya, akan menjadi budak hawa nafsu yang tak pernah terpuaskan.

Kalau kita tidak memiliki motivasi yang kuat untuk meraih ridha Allah SWT, maka karunia potensi fisik, akal, dan roh itu terlalu berharga untuk disia-siakan dalam kekufuran atas nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita.
Baca selanjutnya...

Jumat, 01 Mei 2009

Koalisi Kebaikan

Oleh Yadi Saeful Hidayat

''Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.'' (QS Almaidah [5]: 2).

Bekerja sama dalam membangun kebaikan dan kemaslahatan merupakan salah satu esensi Islam. Koalisi kebaikan, selain perlu dibangun demi terwujudnya kesejahteraan, keamanan, dan kesentosaan, juga penting untuk meredam gejolak kejahatan serta maraknya perbuatan dosa dan maksiat.

Di antara upaya yang bisa dilakukan oleh koalisi kebaikan adalah dengan mengonstitusikan kebenaran dalam kerangka dan aturan yang jelas. Tanpa ikatan dan perangkat kerja sama itu, koalisi kebaikan akan bisa dikalahkan oleh kekuatan jahat yang terorganisasi.


Inilah maksud perkataan Ali ibn Abu Thalib RA, ''Kebenaran yang dijalankan tanpa aturan yang jelas, akan terkalahkan oleh kebatilan yang digerakkan secara terstruktur dan terorganisasi.''

Islam adalah agama yang paling giat mengusung koalisi kebaikan. Salah satu buktinya tecermin dalam konsep zakat, di mana orang yang berutang harus dibayarkan utangnya melalui dana zakat. Tuhan pun senantiasa akan memayungi hamba-Nya yang gemar melakukan koalisi kebaikan.

Koalisi kebaikan tidak hanya semata ditujukan untuk hal-hal yang bersifat materiil. Aspek moral juga menjadi titik tekan yang harus dilirik oleh koalisi kebaikan.

Menurut Ibn Asyur, salah satu prinsip dari koalisi kebaikan adalah dengan menjalankan konsep ta'awun (koalisi) secara merata dan tidak dibatasi antarkomunitas Muslim dan Muslim yang lainnya. Melainkan harus dibangun antarsesama manusia dengan syarat misi kebaikan dan kemaslahatan yang dikandungnya.

Pandangan ini mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam kubangan dikotomi ras, suku, ideologi, atau bahkan agama, untuk menciptakan koalisi kebaikan yang bisa menghadirkan kemaslahatan. Kebaikan adalah milik semua manusia, bukan milik sebagian golongan atau aliran.

Kebaikan juga merupakan fitrah penciptaan manusia, dan karenanya tak wajar jika seseorang mengklaim kebenaran hanya milik dirinya sendiri. Beberapa hal lain yang perlu dijadikan prinsip dalam membina koalisi kebaikan adalah kejujuran (al-shidiq) dan kepercayaan (al-amanah).

Lainnya adalah kemauan kuat untuk memegang teguh kebenaran (al-'azm), tanggung jawab menjalankan kebenaran (al-masliyyah), dan toleransi dalam hal-hal sekunder (al-tasamuh).

Baca selanjutnya...